Tuesday, August 23, 2011

Tataran Komunikasi (Review)

Analisis mengenai tataran komunikasi ini berdasar pada konteks sosial di mana proses komunikasi terjadi. Berdasarkan cara manusia, kelompok, atau bahkan kebudayaan terlibat sebagai pengirim dan penerima pesan, tataran komunikasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Komunikasi individu (intrapersonal communication), yaitu komunikasi yang terjadi di dalam diri individu. Pada tataran komunikasi ini, komunikasi yang terjadi mencakup: berbicara pada diri sendiri, menulis sebagai feedback dari pesan yang telah disampaikan. Karena sumber dan penerimanya adalah diri sendiri, maka pesan yang disampaikan dapat berupa topik apapun, tetapi sebagian besar mengenai pandangan diri. Media yang digunakan meliputi pidato, tulisan, film, program komputer. Penelitian mengenai komunikasi intrapersonal dalam ilmu komunikasi relatif terbatas. Namun analisis pada tatanan ini meningkat dalam penelitian mengenai proses komunikasi yang menggunakan teknologi komputer yang menuntun manusia untuk memecahkan masalah. Ketika komputer mampu bekerja sesuai dengan kehendak intrapersonal dari insinyurnya, komputer ini disebut merupakan ekstensi dari aktivitas mental insinyur itu.

2. Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), yaitu komunikasi yang terjadi antara dua orang. Tataran komunikasi ini dapat digolongkan menjadi dua,yaitu:

a. Face-to-face: komunikasi antarpribadi yang terjadi secara langsung atau dapat berlangsung lewat catatan antara dua orang. Komunikasi ini dapat berlangsung lebih mendalam serta mencakup transaksi psikologis antarpribadi ketika komunikator dapat memahami motivasi dan kebutuhan lawan bicaranya. Cakupan pada jenis komunikasi ini meliputi percakapan sehari-hari disertai usaha untuk membangun hubungan pribadi yang dalam. Karena itu, pesan yang disampaikan biasanya adalah topik sehari-hari yang melibatkan aturan pribadi komunikator, dan pembicaraan dapat menjadi sangat serius dan melibatkan transaksi psikologis. Medianya meliputi komunikasi verbal dan nonverbal; dapat berupa memo atau catatan. Feedback dari penerima segera terjadi dan melalui medium yang sama dengan medium yang digunakan sumber.

b. Point-to-point: komunikasi antarpribadi yang terjadi dengan media komunikasi─tidak langsung, antara dua orang. Biasanya komunikasi ini bersifat lebih formal daripada jenis face-to-face. Selain itu, transaksi psikologis lebih jarang terjadi. Jenis komunikasi ini mencakup surat pribadi, telepon, telegram. Meskipun sumber dan penerima adalah diri dan orang lain, dan topik pembicaraan membutuhkan percakapan interpersonal, tetapi pembicaraan cenderung bersifat lebih formal. Feedback dari penerima segera terjadi untuk pembicaraan dengan media yang sama seperti telepon, dan tertunda untuk komunikasi dengan media seperti surat dan telegram.

3. Komunikasi kelompok (group communication), dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Komunikasi kelompok kecil (small-group): komunikasi yang terjadi di antara dua orang atau lebih tetapi biasanya tidak lebih dari 25 orang. Komunikasi ini dibagi menjadi dua, yaitu:

· Face-to-face: komunikasi yang terjadi dalam kelompok secara langsung. Di dalam komunikasi ini, setiap individu dapat berperan aktif di dalamnya. Komunikasi jenis ini mencakup pertemuan kecil yang biasanya terjadi dengan tujuan tertentu. Sumber dan penerima pesan adalah seluruh partisipan dengan topik pembicaraan meliputi agenda, pembuatan keputusan, dsb. Medianya dapat berupa pidato ataupun pertukaran catatan. Feedback bersifat face-to-face.

· Point-to-point: komunikasi yang terjadi dalam kelompok dengan perantara media (tidak langsung). Komunikasi ini biasanya terjadi jika para komunikator terpisah oleh jarak yang jauh. Yang membedakan komunikasi ini dengan komunikasi face-to-face adalah media yang digunakan. Komunikasi ini menggunakan media seperti telepon dan televisi dan berlangsung secara tidak langsung karena partisipan dipisahkan oleh jarak yang jauh.

b. Komunikasi kelompok besar (large-group): komunikasi yang terjadi antara seseorang atau sekelompok orang dengan penerima pesan yang berjumlah 25 orang atau lebih. Biasanya, jenis komunikasi ini adalah komunikasi satu arah, dan feedback diberikan secara langsung oleh penerima pesan. Tataran komunikasi ini biasanya terjadi pada acara seperti pidato, konser, atau film di mana penerima pesan memberikan feedback langsung berupa, misalnya tepuk tangan.

4. Komunikasi organisasi (organizational communication), yaitu komunikasi yang terjadi di antara suatu kelompok yang terikat oleh urusan bisnis atau struktur administrasi tertentu. Karena itu, topik pembicaraan pun disesuaikan dengan struktur administrasi perusahaan. Sumber dan penerima merupakan individu ataupun kelompok yang ada dalam lingkup perusahaan. Feedbacknya berupa keuntungan dan produktivitas. Salah satu hal yang unik dari komunikasi organisasi adalah bahwa seseorang harus menyesuaikan tindakannya atau aktivitas komunikasinya dengan tujuan organisasi.

5. Komunikasi publik (public or mass, communication), yaitu komunikasi yang terjadi antara seseorang atau suatu kelompok, melalui media khusus─seperti televisi, radio, dan film, dengan pasar atau masyarakat luas. Tataran komunikasi ini mempunyai ciri khusus. Di antaranya adalah bahwa sebagian besar komunikatornya adalah institusi atau kelompok. Meskipun yang menciptakan komunikasi dasar adalah individu, tetapi secara keseluruhan, penyampaian pesan berlangsung secara kolektif. Pesan yang disampaikan pun berorientasi pada segmen masyarakat. Hal lain yang unik dari tataran komunikasi ini adalah adanya pesan yang melimpah, khususnya dalam bidang penyiaran (broadcast). Hal ini ditambah lagi dengan terbatasnya kesempatan untuk memberikan feedback secara langsung dari penerima pesan. Jenis komunikasi publik memang memberikan paling sedikit kesempatan bagi penerima pesan untuk mekontribusikan feedback langsung dibandingkan dengan jenis komunikasi lain.

6. Komunikasi internasional (international communication), yaitu komunikasi yang terjadi antar negara atau antar kebudayaan; analisis perbandingan proses-proses komunikasi dari sistem dan kebudayaan lain. Dewasa ini, para sarjana memberikan perhatian lebih pada komunikasi yang mencakup berbagai perbedaan, seperti perbedaan nasional, kebudayaan, dan politik. Dalam komunikasi internasional, sumber biasanya merupakan institusi dalam suatu negara yang berkomunikasi dengan institusi yang berada di negara lain. Media yang digunakan meliputi data links, telepon, dan─terutama satelit. Feedback dapat berupa tanggapan pada pesan-pesan internasional dari opini publik yang berada dalam negara penerima pesan.

Perkembangan Ilmu Komunikasi (Review)

Ilmu Komunikasi Awal

Perkembangan Ilmu Komunikasi, awalnya mencakup hal-hal mengenai komunikasi lisanmeliputi retorika dan pidato, serta jurnalistik. Yang dianggap sebagai teori pertama ilmu komunikasi dibangun oleh Corax di Yunani yang kemudian disempurnakan oleh muridnya Tisias. Mereka membangun konsep tentang organisasi pesan, mengusulkan bahwa sebuah pesan harus mempunyai tiga konsep yang berhubungan dengan konsep masa kini, yakni pendahuluan, isi, dan kesimpulan. Selain Corax, beberapa tokoh mempunyai pandangan mengenai ilmu komunikasi. Di antaranya adalah:

· Gorgias of Leontini, orang pertama yang menyatakan tentang kegunaan usur emosi dalam pidato. Ia memperhatikan gaya dan figur tertentu dari pidato.

· Isocrates beranggapan bahwa seorang orator harus dilatih dalam seni liberal dan haruslah seseorang yang baik.

· Aristoteles dan Plato. Keduanya mengatakan bahwa komunikasi sebagai seni yang dipraktikkan dan ilmu. Pandangan Aristoteles tentang komunikasi adalah sebagai berikut:

Selain konsep tentang retorika dan pidato, pada awal perkembangan ilmu komunikasi, dibahas pula tentang jurnalistik. Konsep ini muncul pertama kali di Mesir. Setelah itu, diikuti oleh Julius Caesar. Kini, surat kabar mencakup berita, cerita, proklamasi, pernyataan politik, dsb.

Perkembangan Interdisipliner

Artinya, ilmu komunikasi melewati batas bahasan ilmu-ilmu lainnya. Di dalam setiap ilmu, pasti terdapat unsur komunikasi. Pandangan beberapa ahli mengenai komunikasi adalah sebagai berikut:

  • Pandangan Laswell tentang komunikasi

Dalam berkomunikasi, pembicara membangun pesan, memilih media yang akan digunakan, dan memperkirakan daerah efek di antara pendengar. Faktor-faktor komunikasi yang dianggap penting adalah sumber, pesan, dan gangguan, yang berlangsung secara satu arah.

  • Pandangan Shanon-Weaver

Selama proses, pembicara membangun pesan, menyampaikan pesan melalui media kepada pendengar. Faktor-faktor yang ditekankan adalah sumber, pesan, dan penerima pesan, dengan arah komunikasi satu arah dengan feed-back.

  • Pandangan Schramm

Sumber memilih pesan lalu menyampaikan informasi melalui media kepada penerima jika mereka mempunyai field of experience yang dapat dibagi. Faktor-faktor yang ditekankan adalah sumber, pesan, dan penerima secara searah.

  • Pandangan Katz-Lazarsfeld

Sumber memilih pesan dan menyampaikan informasi, melalui media massa kepada opinion leaderorang-orang yang dapat mempengaruhi opini publik tentang suatu hal, untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat. Faktor-faktor yang ditekankan meliputi media, pesan, penerima, dan opinion leader dengan komunikasi bersifat satu arah (melalui media).

  • Pandangan Westley-MacLean

Sumber memilih pesan dan menyampaikan informasi dalam bentuk yang berbeda kepada penerima yang memilih, membuat dan menyampaikan informasi dalam bentuk lain kepada individu lain dengan feedback pada setiap langkah. Faktor-faktor yang ditekankan adalah penerima, arti, dan feedback, melalui komunikasi melingkar (circular) melalui feedback.

Integrasi pada Ilmu Komunikasi

  • Pandangan Dance

Individu memilih pesan berdasarkan pengalaman komunikasi sebelumnya. Faktor yang ditekankan adalah proses dan waktu. Prosesnya berbentuk helical-spiral, artinya sebuah bentuk yang menggambarkan proses komunikasi yang mencakup segala pesan maupun tingkah laku dari komunikator-komunikatornya dalam mengirim maupun menerima pesan.

  • Pandangan Watzlawick-Beavin-Jackson

Individu-individu bertukar pesan melalui tingkah laku dengan memperhatikan faktor-faktor penerima, maksud, proses, dan metakomunikasi. Komunikasi ini berlangsung secara dua arah.

  • Pandangan Thayer

Tiap individu memperluas dan menyebarkan, memperoleh dan memproses informasi dalam suatu aktivitas komunikasi, proses yang dinamis. Faktor-faktor yang ditekankan adalah penerima pesan, memproses dan meyebarluaskan informasi, yang berlangsung sirkular.


1980-an: Pertumbuhan dan Spesialisasi

Perkembangan dan spesialisasi ilmu komunikasi berkembang sangat pesat pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an. Perluasan dan diversifikasi ini tercermin dalam kurikulum perguruan tinggi.

Beberapa departemen komunikasi yang baru, terbentuk pada tahun 1970-an. Beberapa program tentang speech berubah menjadi speech communication atau communications. Hal yang sama terjadi pada beberapa departemen jurnalistik. Peralihan terjadi dari istilah jurnalistik menjadi komunikasi massa, communication atau communications.

Kepopuleran Komunikasi

Dalam penggunaan yang luas, definisi ilmu komunikasi menjadi semakin tidak pasti atau tidak dapat dirangkum dalam sebuah definisi. Hal ini disebabkan pembahasan ilmu komunikasi yang terfokus pada kepentingan dan relevansi komunikasi sendiri serta merupakan penggabungan pendapat dari individu-individu dengan perspektif dan latar belakang yang berbeda.

Disiplin Ilmu, Aktivitas, dan Profesi

Pada pembahasan mengenai kajian komunikasi, terdapat makna ganda pada penggunaan istilah single term. Untuk membedakan penggunaannya, beberapa penulis mengusulkan term communicology, communication science, atau communication studies, terkait dengan disiplin ilmu. Sedangkan communicologist dan communication researcher terkait dengan hal-hal yang dibahas di dalamnya. Term-term di atas tidak diadaptasi secara luas sehingga meninggalkan kebingungan yang berlanjut hingga kini.

Information Age

Ini adalah masa ketika komunikasi dan teknologi informasi, yang selalu mengalami perkembangan, telah berperan penting dalam masyarakat. Penjelasan menegnai hal ini akan dibahas di bawah ini.

Informasi sebagai Komoditas

Informasi dan komunikasi yang telah berkembang semakin pesat, telah menjadi komoditas ekonomi terutama di negara-negara industri dan negara-negara maju.

Media

Dalam perkembangan komunikasi, media telah menjadi alat yang memungkinkan communication sources dan receivers mampu membawa fungsi pesan yang dikomunikasikannya. Hal yang sebelumnya sangat sulit, memakan waktu, atau bahkan mustahil untuk terjadi.

Pengaruh Ekonomi dan Pasar

Pendorong kemajuan teknologi dalam komunikasi adalah Information Age, yang membawa label-label baru, media-media hybrid dan baru, memprluas konsep-konsep komunikasi dan informasi, mengubah realitas ekonomi, dan membuat pekerjaan-pekerjaan baru kartena meningkatnya orang-orang yang bekrja di dunia komunikasi dan informasi.

Komunikasi sebagai Proses

Pembangunan dalam bahasan komunikasi selama ini telah menekankan kembali peran fundamental komunikasi sebagi sebuah proses di mana pesan dikirim dan diterima serta adanya makna yang terbentuk. Jika informasi dilihat sebagi sebuah komoditas dalam Information Age, maka komunikasi dipandang sebagai proses di mana komoditas dipindahkan dan digunakan oleh individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat.

Memperkuat Hubungan-Hubungan Interdisipliner

Hubungan-hubungan potensial terjadi pada, misalnya, cognitive psychology, ekonomi, jurnalistik, pemasaran, literature, dsb. Hal ini wajar mengingat keberadaan komunikasi terdapat dalam semua aspek, seperti terangkum pada salah satu definisi komunikasi.

Pencerminan Evolusi Teori Komunikasi

Paradigma dan Anomali

  • Paradigma

Paradigma komunikasi memandang komunikasi sebagai proses transfer informasi searah dari source ke receiver.

  • Anomali

Paradigma dalam komunikasi tidak berlangsung secara mutlak dan terus-menerus. Seringkali paradigma ini berubah sebagai akibat dari anomali. Penelitian lebih lanjut mengenai hal ini mengungkapkan bahwa anomalilah yang telah mendorong terjadinya transisi sederhana, yaitu, pesan yang dikirim tidak sama dengan pesan yang diterima.

MS≠MR

Komunikasi telah menjadi sebuah ilmu yang interdisipliner sebagai hasil dari kajian yang telah dilakukan oleh leluhur kita maupun hasil pengamatan para ahli pada abad ke-dua puluh. Komunikasi telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang bermanfaat ditinjau dari pendekatan tingkah laku manusia dan kemanusiaan, dan ilmu komunikasi telah mejadi area di mana media terus melakukan pengamatan.

Order Out of Chaos

Dalam buku a First Look at Communication Theory ini, disajikan 33 teori komunikasi. Ketika kita melihat semuanya sebagai suatu entitas yang terpisah satu sama lain, Griffin menyatakan bahwa itu bukanlah tindakan yang tepat. Griffin menyarankan agar kita kembali membuka lembaran review kita dan melihat perbedaan sudut pandang pendekatan objektif dan interpretatif. Bagaimana menggolongkan berbagai teori tadi ke dalam skala menurut kedua pendekatan yang dianut masing-masing teori?

James Anderson merekomendasikan ini dengan menempatkan teori-teori itu dalam sebuah hubungan satu sama lain berdasarkan bagaimana pendangan penulisnya dalam melihat hakikat fenomena yang terjadi di dunia, yang bisa dirasakan oleh panca indera. Ia menggambarkan penempatan teori-teori komunikasi di sebuah rangkaian kesatuan worldview yang dilabuhkan oleh term objective dan hermeneutic.

Hermeneutic adalah studi dan praktik interpretasi. Di bawah ini, term hermeneutic akan diganti dengan interpretative:

OBJECTIVE INTERPRETATIVE

Plotting Theories on An Objective-Interpretative Scale

Menurut Anderson, cirri-ciri dari teori dengan pendekatan objektif adalah, sebagai berikut:

· Para ahlinya percaya terhadap kesatuan sains. Ketika suatu fenomena yang serupa terjadi, mereka berpikir bahwa prinsip yang sama juga terjadi.

· Kebenaran adalah tunggal, independen, dan otonom.

· Cenderung memandang kata-kata sebagai referensial dan representasional. Kata-kata punya makna spesifik.

Sedangkan pendekatan interpretatif memiliki cirri-ciri antara lain:

· Para ahlinya percaya akan kebenaran yang tidak tunggal. Menurut mereka, tidak ada yang objektif jika berbicara mengenai tanda (sign) dan significance.

· Interpretasi melihat tindakan dan pencapaian manusialah yang menciptakan data dan membentuk realita.

· Perjuangan makna adalah pekerjaan sehari-hari, dan penempatan makna adalah kesuksesan ekspresi kekuasaan.

Griffin membuat evaluasi mengenai teori-teori itu dengan bagan, yang menurutnya, lebih merupakan bagan yang work-in-progress, daripada The Final Word.

“On The One Hand…on The Other”

Begitu banyak perbedaan pendapat dan pandangan dalam menentukan penempatan berbagai teori itu ke dalam skala objektif dan interpretatif.

Empat Pilihan Bagi Pelajar: Tolak (Reject), Bekerja Sama (Cooperate), Memfusikan (Merge)

  1. Menolak Ilmu Pengetahuan yang Berkualitas Rendah

Ketika para ahli empiris dan rhetorician seringkali bertengkar dan mengklaim bahwa pendekatannyalah yang paling benar, lalu yang mana yang benar? Jawabannya bergantung pada opini yang dimiliki masing-masing orang. Namun para ahli dari kedua belah pihak akan setuju bahwa integritas menuntut kita untuk menolak teori atau penelitian yang berdasar pada asumsi yang salah.

  1. Menghargai dan Merayakan Adanya Perbedaan

Kenyataan yang terjadi di lapangan memperlihatkan bahwa ketika satu pendekatan diterapkan, ia tidak memiliki jawaban yang dimiliki pendekatan lainnya. Karenanya, Rorty berkata, perdebatan antara saintis dan humanis tentang ilmu pengetahuan, metodologi, dan hakikat manusia bukanlah isu yang perlu dibahas, karena itu adalah perbedaan yang dijalani dalam kehidupan.

  1. Bekerja Sama dengan Kolega yang Diperlukan

Pendekatan objektif dan interpretatif dianggap saling membutuhkan satu sama lain. Marie Nichols menyatakan bahwa kemanusiaan tanpa sains itu buta, tetapi sains tanpa kemanusiaan bisa jadi kejam. Yang harus dilakukan adalah bekerja sama dan berhubungan dengan para kolega yang menganut pendekatan yang berbeda.

  1. Melegitimai Anak dari Sebuah Perkawinan Paksa (Merge)

Dengan menggunakan analogi sexual liaison untuk mendeskripsikan hubungan yang terjadi antaa social science dan rhetoric dalam disiplin komunikasi, Celeste Condit menggambarkan hubungan keduanya sebagai kontak yang terjadi antara dua keluarga akademik. Keduanya menghasilkan keturunan yang menggabungkan karakteristik tradisi kedua orangtuanya. Dan kita semestinya tidak terkejut dan merasa malu dengan para ahli yang membawa resemble kedua orangtua tadi.

Daripada melihat anak pernikahan scientific-humanistic ini sebagai anak yang jelek dan memalukan, Condit menggagas ketika keduaya menikah, baptislah anak mereka dengan ‘understanding’, pengertian. Menurutnya, understanding menerima pelatihan tentang metodologi penelitian yang dibangun oleh kedua belah keluarga. Anak ini akan menjadi cemerlang daripada anak-anak rhetorician atau scientist yang hidup dalam lingkungan akademik, serta membawa kemuliaan bagi keluarganya.

Catatan Terakhir

Setiap bidang mengalami perubahan dengan begitu cepat. Jangan berhenti di a first look at communication theory. Pilihlah perspektif teoritikal dan konteks-konteks komunikasi yang mempengaruhimu, lantas gantilah dari observasi casual menjadi tatapan yang intensif. Tetaplah mencari!

Saturday, July 3, 2010

Muted Group Theory (Cheris Kramarae): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Kramarae menyatakan bahwa bahasa (language) secara harfiah, adalah sebuah man-made construction. Ia menegaskan bahwa bahasa dari sebuah budaya khusus tidak melayani semua orang yang mengucapkannya secara sama, karena memang tidak semua speaker memberikan kontribusi yang sama dalam formulasinya. Wanita, dan anggota dari kelompok subordinat lain, tidaklah bebas atau bisa mengatakan apa, yang ingin mereka katakana, kapan, dan di mana, karena kata-kata dan norma-norma yang mereka gunakan telah diformulasikan oleh kelompok dominan, yaitu pria.

Menurut Kramarae, kata-kata wanita tidak dihargai dalam masyarakat kita. Pemikiran wanita mengalami hal yang sama. Ketika wanita mencoba meniadakan ketidakadilan ini, kontrol pria terhadap komunikasi menempatkan wanita dalam ketidakberdayaan. Man-made language membantu mendefinisikan, menjatuhkan, dan meniadakan wanita. Wanita adalah the muted group (kelompok yang dibungkam). Tipe dominansi pria pada bahasa hanyalah satu aspek saja dari berbagai cara untuk membungkam kepentingan wanita dalam masyarakat.

Muted Groups: Black Holes in Someone Else’s Universe
Ardener berasumsi bahwa ketidakpedulian terhadap pengalaman wanita merupakan masalah unik gender bagi social-anthropology. Ia kemudian sadar bahwa mutedness (kebisuan) disebabkan karena kekurangan kekuasaan (power). Orang-orang yang memiliki sedikit kekuatan tidak menyadari masalah bahasa yang mereka gunakan untuk mengungkapkan persepsi mereka.

Menurut Ardener, muted structures ada di dalamnya, tetapi tidak sadar dalam penggunaan bahasa yang diciptakan kelompok dominan. Sebagai hasilnya, mereka diabaikan, disia-siakan, dan tidak terlihat. Seperti black holes in someone else’s universe.

Namun Ardener mengingatkan bahwa muted group tidak selalu diam. Isunya adalah apakah orang dapat mengatakan hal yang ingin mereka katakan saat dan di tempat mereka ingin mengatakannya. Atau haruskah mereka me-re-encode pemikiran mereka untuk membuat mereka dimengerti oleh public dominan? Kramarae merasa yakin bahwa posisi kekuasaan dominan pria dalam masyarakat menjamin bahwa cara ekspresi publi tidaklah secara langsung tersedia bagi wanita.

Pada hakikatnya, Kramarae hanyalah salah seorang feminis yang ingin megungkapkan kebungkaman yang sistematik atas suara wanita (women voice). Para feminis memiliki agenda penelitian yang menganggap penting pengalaman wanita.

Kekuatan Maskulin untuk Menamai Pengalaman
Karamarae memulai bahasannya dengan asumsi bahwa wanita melihat kenyataan di sekitarnya dengan cara yang berbeda dengan pria karena keduanya mengalami pengalaman dan aktivitas yang berbeda berdasarkan pembagian kerja (division of labor). Ia yakin bahwa ketidaksesuaian kekuasaan antar jenis kelamin memastikan bahwa wanita memandang dunia dengan cara yang berbeda dengan pria. Seringkali pengalaman wanita ini harus diungkapkan kemudian disensor terlebih dahulu oleh pria. Padahal saling pengertian sebenarnya mampu terbentuk jika ada diskusi lebih lanjut mengenai hal itu. Namun, masalah yang dihadapi wanita adalah diskusi itu tidak pernah benar-benar terjadi di lapangan. Persepsi pria dominan karena dominansi politik mereka, yang kemudian mengekang kebebasan berekspresi wanita sebagai mode alternatif di dunia. Pemilik mode ekspresi di dunia adalah pria dan pria pula yang membingkai diskusi.
Menurut teori symbolic interactionism dari Mead, perluasan pengetahuaan adalah perluasaan penamaan (naming). Jika ini benar, maka siapapun yang punya kemampuan naming, ia akan memiliki kekuasaan yang luar biasa. Selanjutnya, menurut pendekatan socio-cultural, bahasa membentuk persepsi kita akan realitas. Maka, menurut Kramarae, pengabaian terus-menerus terhadap kata-kata, dapat membuat pengalaman itu menjadi unspoken, bahkan unthought. Akibatnya, lama-kelamaan, muted women akan meragukan validitas pengalaman dan legitimasi perasaan mereka.

Pria sebagai Gatekeepers Komunikasi
Meskipun public mode of expression memiliki begitu banyak kosakata untuk mendeskripsikan pengalaman feminin, wanita akan tetap di-muted ketika mode of expression mereka diabaikan. Dalam masyarakat terjadi pembangunan kultural tentang peran luar biasa pria dengan tidak mengakui atau mempublikasikan seni, puisi, skenario, public address, dan esay akademik wanita. Selama 500 tahun wanita dilarang membuka bisnis. Bahkan pengaruhnya dalam media cetak dibatasi hingga tahun 70-an. Kramarae menyebutnya malestream expression. Menurut Dorothy Smith, pria menganggap penting hanya pembicaraan yang diucapkan pria. Lingkaran pria yang menulis dan berbicara sangat penting bagi satu sama lain. Apa yang dilakukan pria hanya relevan bagi pria, ditulis oleh, tentang, dan untuk pria. Pria didengarkan dan mendengarkan satu sama lain.

Janji yang Tak Terpenuhi tentang Internet
Kita berasumsi bahwa ketika internet muncul, era gatekeeping yang dilakukan oelh pria, telah berakhir. Namun tidak demikian menurut Kramarae. Di bawah ini ada 4 kiasan untuk menggambarkan hal itu:

Information Superhighway, yaitu masih sulit bagi wanita untuk mengakses pelayanan inernet dengan harga yang relative masih tidak terjangkau bagi wanita, serta situs tidak dirancang secara khusus untuk menyambut wanita.
The New Frontier, yaitu pria berpandangan bahwa komputer dan online tidak cocok bagi wanita.
Democracy, yaitu karena kaum wanita belum menjadi kelompok yang ‘membuat pengetahuan (knowledge), maka wanita justru harus lebih berhati-hati ketika menelusuri dunia maya.
A Global Community, lewat internet, wanita bisa saling berbagi pengalaman dengan orang lain di seluruh dunia. Namun internet menghadirkan komunitas yang telah eksis tanpa mendorong pihak-pihak yang tidak hadir untuk berpartisipasi. Untuk mendapt kepercayaan, para pria membuat site ‘women only’ untuk menipu wanita dan mendapatkan kepercayaan mereka.

Women’s Truth into Men’s Talk: The Problem of Translation
Mengasumsikan bahwa dominansi maskulin dalam komuniksi publik adalah sebuah realitas yang tengah terjadi, Kramarae menyatakan, untuk berpartisipasi dalam masyarakat, wanita harus mentranslasikan model mereka ke dalam sistem ekspresi pria yang dipakai masyarakat selama ini. Seperti bicara dengan bahasa kedua, translasi ini butuh proses yang terus-menerus. Apa yang ingin dikatakan wanita tidak dapat diungkapkan secra benar-benar tepat karena bahasa yang ada bukanlah buatan mereka. Dan, layaknya seperti bahasa kedua, ketika translasi selesai dilakukan, kata-kata yang telah ditranslasikan itu tidak benar-benar mengungkapkan maksud wanita.

Speaking Out in Private: Networking with Women
Menurut Kramarae, wanita cenderung mencari cara yang berbeda dalam mengekspresikan pengalamannya kepada public. Wanita menggunakan diary, jurnal, surat, cerita, dongeng, gossip, seni, puisi, nyanyian, maupun parodi nonverbal. Pria biasanya lupa akan sekitarnya jika telah berkomuniksi dengan wanita lewat channels tersebut. Karamarae yakin bahwa pria memiliki kemampuan yang lebih rendah dari wanita dalam mengerti maksud dari lawan jenis. Namun pria tetap melakukan itu karena mereka sadar bahwa mendengarkan wanita itu perlu untuk membangun kehormatan yang lebih besar lagi untuk dirinya.

Speaking Out in Public: A Feminist Dictionary
Tujuan utama dari muted theory adalah untuk mengubah man-made linguistic system yang membuat wanita tidak bisa maju dan berkembang. Menurut Kramarae, salah satunya dibakukan oleh kamus-kamus yang beredar. Kemudian ia dan Paula Treichler membuat kompilasi kamus feminis yang menawarkan definisi untuk kata-kata wanita.

Sexual Harassment: Coining A Term to Label Experience
Pelecehan seksual (sexual harassment) tidaklah terjadi secara acak menurut Kramarae. Wanita telah menjadi objek tetap pelecehan seksual. Ini terjadi karena wanita tidak memiliki kekuasaan (power) yang besar dalam masyarakat sehingga ia senantiasa dilecehakn dan direndahkan. Masih menurut Kramarae, istilah sexual harassment sendiri digunakan pertama kali pada sebuah kasus di pengadialn pada akhir tahun 1970. itu adalah kata legal petama yang didefinisikan oleh wanita. Dan bagi muted group, perjuangan untuk mengimbangi man-made language, terus berlangsung.

Kritik: Is A Good Man Hard to Find (And Change)?
Mengapa budaya patriarki dianut oleh kita? Mengapa pria begitu ingin mendominasi msyarakat? Pertanyaan tentang motif pria ini adalah sesuatu yang problematis. Menurut Kramarae, pria berusaha mengontrol wanita. Namun anggapan ini dibantah oleh Tannen. Tannen setuju bahwa perbedaan gaya komunikasi antara pria dan wanita menyebabkan ketidakseimbangan kekuasaan. Namun Tannen menolak alasan yang diajukan Kramarae. Menurut Tannen, penyebabnya adalah gaya yang berbeda (different style) antara pria dan wanita. Kramarae membantahnya kembali dengan menyatakan bahwa alasan itu terlalu naïve. Kramarae menyalahkan hirarki politik, pendidikan, agama, legal, ras, system support gender, dan kelas. Respons kita pada muted theory bergantung pada apakah kita mendapat manfaat atau malah menjadi korban atas sistem ini.

Standpoint Theory (Sandra Harding dan Julia T. Wood)

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Dalam teori ini, Harding dan Wood menggagas bahwa salah satu cara terbaik untuk mengetahui bagaimana keadaan dunia kita, yaitu dengan memulai penyelidikan kita dari standpoint kaum wanita dan kelompok-kelompok marginal lain. A standpoint adalah sebuah tempat di mana kita memandang dunia di sekitar kita. Apapun tempat yang menguntungkan itu, lokasinya cenderung memfokuskan perhatian kita pada beberapa fitur dalam bentangan alam dan sosial dengan mengaburkan fitur-fitur lainnya. A standpoint bermakna sama dengan istilah viewpoint, perspective, outlook, atau position. Dengan catatan bahwa istilah-istilah ini digunakan dalam tempat dan waktu khusus, tetapi semuanya berhubungan dengan perilaku dan nilai-nilai. Standpoint kita mempengaruhi worldview kita.

Menurut Harding, ketika orang berbicara dari pihak oposisi dalam hubungan kekuasaan (power relations), perspektif dari kehidupan orang-orang yang tidak memiliki power, menyediakan pendangan yang lebih objektif daripada pandangan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Yang menjadi fokus bahasannya adalah standpoint kaum wanita yang selama ini termarginalisasi.

Standpoint Seorang Feminis Berakar pada Filosofi dan Literatur
Georg Hegel (filosof Jerman) menganalisis hubungan majikan-budak untuk menunjukkan apa yang orang tahu tentang diri mereka, orang lain, dan masyarakat berdasarkan di mana mereka menjadi bagian dalam kelompok itu. Majikan dan budak memiliki perspektif yang berbeda ketika keduanya menghadapi realitas yang sama. Namun ketika ‘para tuan’ membangun struktur masyarakat, mereka memiliki kekuasaan (power) untuk membuat perspektif yang mereka miliki juga dianut oleh orang-orang dari kelompok yang lain. Referensi berikutnya adalah teori Karl Marx dengan konsep kaum borjuis dan proletarian serta ‘class struggle’. Para feminis mengganti konsep proletarian dengan kaum wanita, dan mengganti perjuangan kelas dengan ‘gender discrimination’. George Herbert Mead menggagas bahwa kebudayaan (culture) dianut oleh manusia lewat komunikasi. Dengan menggunakan gambaran prinsip symbolic interactionism, Wood menyatakan bahwa gender lebih merupakan sebuah konstruksi budaya daripada sebuah karakteristik biologis. Berdasarkan teori postmodernism, para feminis mengkritik kenyataan bahwa rasionalitas dan western science, didominasi oleh pria.
Harding dan Wood menggambarkan semua teori berdasarkan pendekatan konflik di atas, tanpa membiarkan teori-teori itu membentuk atau mempengaruhi substansi pendekatan standpoint mereka.

Wanita sebagai Kelompok yang Termarginalisasi
Para ahli teori ini melihat perbedaan-perbedaan penting antara pria dan wanita. Untuk menggambarkan ini, Wood menggunakan teori relational dialectic tentang autonomy-connectedness. Pria dianggap lebih otonom, sedangkan wanita dianggap lebih suka berhubungan dengan orang lain. Namun Wood melihat perbedaan seperti ini, serta perbedaan lain yang begitu luas antara pria dengan wanita, merupakan hasil dari cultural expectation serta perlakuan yang diterima pria dan wanita dari orang lain.
Selain isu gender, Harding juga menekankan kondisi ekonomi, ras, orientasi seksual sebagai identitas kultural tambahan yang dapat membuat orang berada di tengah masyarakat atau menjadi orang yang terpinggirkan. Standpoint theory menekankan pentingnya social location karena mereka yakin bahwa orang yang berada di puncak societal hierarchy adalah orang-orang yang memiliki previlise untuk mendefinisikan apa dan bagaimana artinya ‘menjadi wanita’, atau ‘menjadi pria’, atau hal-hal lain, bagian dari budaya, yang dianut masyarakat.

Knowledge from Nowhere versus Local Knowledge
Mengapa standpoint begitu penting? Karena, menurut Harding, kelompok sosial yang memiliki kesempatan untuk mendefinisikan problematika, konsep, asumsi, dan hipotesis yang penting dalam sebuah bidang ilmu, akan meninggalkan bekas sosialnya pada gambaran dunia yang berasal dari hasil penelitian dalam bidang itu.
Penekanan Harding terletak pada local knowledge untuk menentang pernyataan bahwa traditional western science yang mengungkapkan ‘truth’, bebas nilai dan objektif. Harding dan para ahli standpoint theory lainnya bersikukuh bahwa tidak ada kemungkinan bagi teciptanya perspektif yang tanpa bias, yang tanpa ditunggangi kepentingan-kepentingan, impartial, bebas nilai, atau terlepas dari situasi sejarah tertentu.

Namun Harding dan Wood tidak menyatakan bahwa standpoint wanita atau kelompok minoritas lainnya, memberikan pandangan yang jelas akan sesuatu. Situated knowledge akan selalu parsial. Para ahli standpoint theory memelihara perspektif bahwa kelompok subordinat memberikan gambaran dunia yang lebih lengkap dan karenanya, lebih baik daripada gambaran yang diberikan oleh kelompok masyarakat yang terhormat.

Objektifitas yang Kuat: Tinjauan yang Lebih Parsial dari Standpoint Wanita
Harding menggunakan istilah strong objectivity untuk menyebut strategi memulai penelitian ini dari kehidupan wanita dan kelompok termarginalisasi lainnya yang kepentingan dan pengalamannya, biasanya diabaikan. Mengapa standpoint wanita dan kelompok lain yang termarginalisasi dapat menampilkan perspektif yang lebih menyeluruh, lebih tepat, atau lebih benar dibandingkan perspektif pria yang berada pada posisi dominan? Wood menawarkan dua penejalasan. Pertama, orang-orang dengan status subordinat memiliki motivasi yang lebih besar untuk mengerti perepektif dari orang-orang dengan kekuasaan lebih. Alasan yang kedua, yaitu karena kelompok-kelompok ini biasanya dipinggirkan, maka mereka punya sedikit alasan untuk mempertahankan status quo.

Menurut Harding, perspektif objektif dari kehidupan wanitalah yang memberikan standpoint yang lebih disukai dalam melakukan proyek-proyek penelitian, hipotesis dan interpretasi.

Teori ke Praktik: Penelitian Komunikasi Berdasarkan Kehidupan Wanita
Ada contoh di bawah ini yang mampu menggambarkan sebuah model penelitian komunikasi yang berawal dari kehidupan wanita. Julia Wood mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai seorang wanita kulit putih, heteroseksual, wanita profesional, yang memikul tanggung jawab untuk mengurus kedua orangtuanya hingga keduanya meninggal. Wood lantas melihat bahwa praktik-praktik gendered communication merefleksikan sekaligus memaksakan societal expectation kita bahwa caregiving adalah pekerjaan wanita. Ia mendengar kata-kata bahwa dirinya memang sudah seharusnya mampu mengurus orangtua dan keluarga, dari ayah dan koleganya.

Wood percaya bahwa kebudayaan itu sendiri harus direformasi dengan cara menjauhkan istilah caring terhadap afiliasi historisnya dengan wanita dan hubungan pribadi dan mendefinisikannya kembali sebagai hal yang penting dan merupakan bagian integral dari kehidupan publik kolektif kita.

Contoh lain tentang studi komunikasi yang berawal dari standpoint wanita adalah konsep invitational rhetoric yang diajukan oleh Sonja Foss dan Cindy Griffin. Foss dan Griffin mengajukan konsep offering sebagai pendekatan alternatif terhadap rhetoric yang merefleksikan kehidupan wanita. Invitational rhetoric adalah sebuah undangan untuk mengerti sebagai cara untuk menciptakan suatu hubungan yagn berakar pada persamaan, nilai yang tetap ada, dan self-determinism. Dalam offering, orator mengatakan apa yang mereka ketahui dan mengerti. Mereka menghadirkan penglihatan mereka akan dunia dan menunjukkan bagaimana dunia terlihat dan bagaimana dunia mempengaruhi mereka.

Kritik: Are Standpoints on The Edge Less False?
Beberapa kritik bagi teori ini adalah sebagai berikut:
 Meskipun standpoint theory pada awalnya dibangun untuk mengapresiasi nilai dari pespektif wanita, teori ini kemudian diaplikasikan pula pada kelompok-kelompok marginal lainnya. Karena pembahasannya menjadi semakin spesifik, maka konsep solidaritas kelompok yang menjadi inti teori ini patut dipertanyakan. Hekman dan Hirschmann menyatakan bahwa tidak ada sebuah ekspresi lewat kata-katapun yang bebas dari nilai, termasuk wanita dan kelompok-kelompok marginal lainnya,
 Konsep strong objectivity sebenarnya kontradiktoris. Jika ditinjau dari postmodern, standpoint theory menyatakan bahwa standpoint itu sifatnya relatif dan tidak dapat dievaluasi dengan kriteria mutlak. Di sisi lain, Sandra dan Wood menekankan bahwa perspektif wanita ini lebih bebas bias dan lebih netral daripada perspektif kelompok yang lebih terhormat.

Face-Negotiation Theory (Stella Ting-Toomey): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Teori ini membantu menjelaskan perbedaan-perbedaan budaya dalam merespons konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa setiap orang dalam setiap budaya sebenarnya selalu menegosiasikan face. Face adalah istilah kiasan untuk public self-image, yaitu bagaimana kita ingin diperlakukan oleh oran glain. Sedangkan facework berhubungan dengan pesan-pesan verbal dan nonverbal spesifik yang membantu memelihara dan memulihkan face loss (kehilangan muka), dan untuk menegakkan dan serta menghormati face gain. Teori ini menyatakan bahwa facework dari budaya individualistic sangat berbeda dengan facework budaya kolektivistik. Artinya, jika facework-nya berbeda, maka cara menangani konfliknya juga berbeda.

Collectivism Versus Individualism
Teori ini berdasar pada pembedaan antara collectivism dan individualism. Menurut Harry Triandis, perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari cara mendefinisikan tiga istilah, yaitu self (diri), goals (tujuan), dan duty (tugas). Menurut Triandis, orang yang kolektivis mendefinisikan self-nya sebagai anggota dari kelompok-kelompok tertentu, dia tidak akan melawan tujuan kelompok, serta melaksanakan tugas yang berorientasi pada lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada kepentingan pribadi. Orang-orang kolektifis biasanya menilai orang baru berdasarkan asal kelompoknya. Bukan berarti mereka tidak peduli pada tamu mereka, tetapi hal ini semata-mata karena mereka menganggap keunikan individual tidak lebih penting daripada group-based information.

Sedangkan orang yang individualis akan mendefinisikan self-nya sebagai seseorang yang independent dari segala kelompok afiliasi, tujuannya adalah memenuhi kepentingan pribadinya, dan melakukan segala tugas yang menurutnya menyenangkan dan menguntungkan diri sendiri. Selain itu, orang yang individualistis tertarik mengenal seseorang karena keunikannya dan kepribadiannya.

The Multiple Faces of Face
Ting-Tomeey melihat bahwa face menjadi perhatian universal bagi setiap orang. Ini terjadi karena face adalah perluasan dari self-concept, vital, dan identity-based resource. Menurut Brown dan Levingson, face adalah ‘the public self-image’ yang ngin ditampilkan sebagai diri oleh setiap orang dalam masyarakat. Ting-Toomey mendefinisikan face sebagai ‘the projected image’ mengenai diri seseorang dalam sebuah relational situation.

Selanjutnya, Ting-Toomey menyoroti isu-isu yang mengubah face menjadi objek studi multifaceted. Face bermakna berbeda pada orang yang berbeda, bergantung pada budaya dan identitas individualnya.

Face-restoration adalah strategi facework yang digunakan untuk mencanangkan tempat unik, mempertahankan otonomi, dan melawan segala usaha untuk menghilangkan kebebasan pribadi. Face-restoration adalah tipikal face strategy dalam budaya individualistis. Karenanya, ketika ada masalah, orang yang individualistis akan lebih membela dan meyalamatkan wajah mereka dengan menyalahkan situasi yang tengah terjadi.

Face-giving adalah perhatian untuk orang lain yang merupakan facework strategy untuk mempertahankan atau mendukung kebutuhan seseorang untuk menjadi bagian dari kelompok. Ini merupakan karakteristik face strategy yang digunakan masyarakat kolektifis.

Face: Linking Culture and Conflict Management─Menghubungkan Budaya dan Managemen Konflik
Teori face-negotiation dari Ting-Toomey menawarkan rantai kausal dua langkah dengan face maintenance sebagai rantai penjelasan antara budaya dan gaya penanganan konflik.

Type of culture → Type of maintenance → Type of conflict management

Berdasarkan karya M. Afzalur Rahim, Ting-Toomey mengidentifikasikan 5 respons yang berbeda pada berbagai situasi bardasarkan perbedaan kebutuhan, kepentingan, atau tujuan, yaitu:
Avoiding, yaitu menghindari diskusi dengan kelompok tentang perbedaan yang kita miliki.
Obliging, yaitu menyampaikan harapan atau keinginan kepada kelompok, tetapi menyerahkan keputusan sepenuhnya pada kelompok.
Compromising, yaitu mengadakan give-and-take atau saling bertukar pikiran agar kompromi bisa diciptakan.
Dominating, yaitu teguh dalam mempertahankan pendapat pribadi demi kepentingan pribadi.
Integrating, yaitu saling bertukar informasi yang akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama.
Di bawah ini diperlihatkan diagram mengenai kelima tipe menagemen konflik berdasarkan culture-related face concern.





Pada diagram di atas, terlihat bahwa obliging, compromising, dan avoiding berada pada area collectivism. Ketiganya juga berada pada titik yang berbeda pada aarea tersebut, bergantung pada tingkat kepedulian terhadap self-face-nya sendiri. Begitu juga dengan integrating dan dominating. Terlihat bahwa integrating adalah level ketika seseorang meletakkan pendapat atau tujuan pribadi tidak semata-mata untuk memenuhi kepentingan pribadinya, tetapi juga karena ia peduli pada orang lain.

A Revised-Face Negotiation Theory
Ting-Toomey merevisi diagram yang ditawarkannya dengan melihat bahwa tidak hanya budaya yang mempengaruhi gaya managemen konflik orang. Ia menambahkan perhatian pada power (kekuasaan) pada teorinya.
Konflik Gaya Baru
Karena selama ini menggunakan sample penelitian orang Barat, Ting-Toomey melihat ada sesuatu yang kurang dalam teorinya ketika penelitiannya mengacu pada keragaman etnik yang ada di dunia. Ia kemudian menambahkan gaya:
 emotional expression, menunjukkan segala perasaan yang dimiliki hati dan diriku,
passive aggression, tanpa benar-benar mengatakan bahwa seseorang malas, berusaha membuat orang lain merasa bersalah, dan
third-party help, mencari bantuan pihak ketiga sebagai penengah agar jalan keluar bisa dicapai.

Power Distance
Hofstede mendefinisikan power distance sebagai suatu perluasan di mana anggota mayarakat dengan power yang lebih lemah menerima bahwa power sebenarnya terdistribusi secara tidak sama (unequal).sebagai contoh, masyarakat dengan fragmentasi sosial yang tinggi seperti Meksiko, menerima bahwa kekuasaan memang tidak terdistribusi secara sama. Karena itu mereka menerima sistem pemerintahandan pengambilan keputusan yang autokratis. Sebaliknya di Amerika Serikat, di mana setiap individu disebut-sebut memiliki hak yang sama, sistem pemerintahannya demokratis.

Application: Competent Intercultural Facework
Tujuan utama yang hendak dicapai oleh teori milik Ting-Toomey ini adalah mengidentifikasi bagaimana orang-orang dengan budaya yang berbeda dapan bernegosiasi (negotiate face) atau menangani konflik. Menurutnya, ada tiga syarat ketrampilan yang harus dipenuhi agar komunikasi antarbudaya bisa efektif, yaitu:

Knowledge─pengetahuan, adalah dimensi terpenting dalam kompetensi facework. Untuk bisa berkomunikasi dengan orang baru, kita harus tahu hal-hal yang berbeda antara kita dengannya. Dari situ kita bisa mengatur strategi apa yang bisa kita gunakan untuk berkomunikasi dengannya

Mindfulness─artinya waspada terutama pada asumsi, sudut pandang, dan kecenderungan etnik kita sendiri ketika kita memasuki situasi yang tidak biasa (unfamiliar situation). Minfulness adalah memperhatikan perspektif dan interpretasi orang lain yang asing bagi kita dengan memandang intercultural episode.

Interaction skill─yaitu kemampuan untuk berkomunikasi secara tepat, efektif, dan adaptif dalam setiap situasi yang kita alami.

Kritik: Confounded by Individual Differences─Dikacaukan oleh Perbedaan-Perbedaan Individual
Beberapa kritik yang dilontarkan pada teori ini adalah:
 Contoh yang diberikan dalam teori ini menggambarkan budaya kolektivisme orang Jepang dan budaya individualisme orang Amerika Serikat. Namun sangat berbahaya menciptakan stereotype yang general bagi masyarakat Jepang atau Amerika Serikat. Kenyataannya, ketika digambarkan dalam satu garis lurus, ada area yang overlapping atau tumpang tindih antara perilaku kolektivisme atau individualisme masyarakat Jepang maupun Amerika Serikat.
 Ting-Toomey memperkenalkan konsep independent dan interdependent dengan mengacu pada ‘derajat di mana orang akan merasa dirinya adalah manusia otonom atau terhubung dengan orang lain’. Markus dan Kitayama menyebutnya dengan self-construal atau self-image. Karenanya kemudian Ting-Toomey merevisi teori face-negotiation-nya menjadi:

Type of culture ─ Type of self-construal ─ Type of face-maintenance ─ Type of conflict management

Anxiety/Uncertainty Management Theory (William Gudykunst ): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Mengenal Orang Asing

Teori Anxiety/Uncertainty Management (AUM) memusatkan bahasannya pada pertemuan antara budaya kelompok (cultural in-group) dengan orang asing (stranger). Gudykunst ingin teorinya dapat diaplikasikan di berbagai situasi di mana perbedaan antar manusia menimbulkan keraguan dan ketakutan. Ia berasumsi bahwa sedikitnya ada seseorang dalam sebuah intercultural encounter (pertemuan antar budaya) yang menjadi orang asing (stranger). Yaitu ketika ada sederet perasaan yang dialaminya, yaitu anxiety (kegelisahan) dan uncertainty (ketidakpastian)─merasa tidak aman dan tidak tahu bagaimana harus bersikap.
Gudykunst memperjelas bahwa AUM memang adalah sebuah terori yang sedang dalam keadaan construction. Teori ini bermaksud menjembatani gap/ batas budaya melalui komunikasi yang efektif.

Effective Communication: Hasil dari Mindfulness
Menurut Gudykunst, term effective communication sebagai proses untuk meminimalisasikan misunderstanding. Penulis lain menganggapnya sama dengan istilah accuracy (keakuratan), fidelity (kejituan), dan understanding (pengertian). Ia menganggap suatu komunikasi itu efrktif jika seseorang dapat memprediksi dan menjelaskan perilaku pihak yang lain. Teori AUM sendiri didesain untuk menjelaskan komunikasi face-to-face yang efektif. Komunikasi yang mindfulness adalah komunikasi yang mengurangi anxiety dan uncertainty, bukan malah menambahnya. Dan ini bisa dilakukan dengan memperhatikan ketika orang lain berbicara dan mencari tahu bagaimana menanggapinya dengan tepat.

William Howel menawarkan empat level kompetensi komuniksi, yaitu:
1. unconscious incompetence. Kita salah menginterpretasikan perilaku orang lain dan bahkan tidak sadar bahwa kita melakukannya. Pengabaian adalah kebahagiaan.
2. conscious incompetence. Kita tahu bahwa kita salah menginterpretasikan sikap orang lain, tetapi kita tidak melakukan apapun untuk itu.
3. conscious competence. Kita memikirkan komunikasi kita dan secara terus-menerus berusaha mengubah hal yang kita lakukan agar komunikasi kita lebih efektif.
4. unconscious competence. Kita telah membangun ketrampilan berkomunikasi pada tingkatan ketika kita tidak perlu lagi harus berpikir tentang bagaimana kita berbicara atau mendengarkan.
Menurut Gudykunst, mindfulness berarti komunikasi kita berada pada level 3.

Anxiety (Kegelisahan) dan Uncertainty (Ketidakpastian): Twin Offspring of Cultural Variability
Gudykunst percaya bahwa penyebab dasar kegagalan komunikasi dalam situasi intergrup adalah anxiety dan uncertainty. Keduanya berhubungan erat, tetapi Gudykunst membedakan keduanya. Uncertainty adalah kognitif─pengertian, dan anxiety adalah afektif─emosi. Uncertainty adalah pikiran, dan anxiety adalah perasaan. Gudykunst mendefinisikan anxiety sebagai perasaan gelisah, tekanan, khawatir atau takut akan hal yang akan terjadi. Gudykunst membuat generalisasi tentang hal ini, yaitu semakin lebar gap antar budaya, maka semakin tinggi pula level anxiety dan uncertainty yang dialami seseorang.

Namun anxiety dan uncertainty tidak selamanya buruk. Menurut Gudykunst, level minimal dari keduanya tetap dibutuhkan untuk menghindarkan kita dari malas, bosan, dan terlalu percaya diri dalam memprediksi sesuatu. Namun sedikit saja keduanya melewati ambang batas useful stimulation, ini akan menyebabkan kegagalan dalam komunikasi.

Mengatur Anxiety dan Uncertainty ketika Ada Budaya yang Bertentangan
Bagaimana menciptakan komunikasi yang efektif? Gudykunst menampilkan 37 aksioma yang terpisah, yang dikelompokkannya ke dalam enam kategori. Setiap aksioma menjelaskan variabel spesifik yang mempengaruhi level anxiety dan uncertainty. Di bawah ini akan ditampilkan 10 aksioma Gudykunst, yaitu:

Self dan Self-Concept
Axiom 5: kenaikan dalam self-esteem (kebanggaan) dalam diri kita ketika kita berinteraksi dengan orang lain akan menaikkan pula kemampuan kita dalam mengatur anxiety kita.

Symbolic interactionism dari Mead menawarkan self-image dengan memperhatikan bagaimana orang lain melihat kita─the looking glass self. Dasar itulah yang terlihat dalam aksioma di atas. Ketika kita merasa bangga pada diri kita, rasa percaya diri juga akan tumbuh. Di saat kita merasa percaya pada diri kita, kegelisahan kita ketika mnghadapi orang lain, akan berkurang.

Motivasi untuk Berinteraksi dengan Orang Asing
Axiom 7: kenaikan dalam kebutuhan merasa diterima dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan menaikkan anxiety kita.
Ketika kita begitu ingin diterima dalam suatu kelompok, kita akan makin gelisah dan pikiran kita akn dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana harus bersikap, apa yang harus dikatakan agar kita bisa diterima di kelompok itu.

 Reaksi terhadap Orang Asing

Axiom 12: kenaikan dalam ketrampilan kita untuk secara kompleks memproses informasi tentang orang asing akan menaikkan kemampuan kita dalam memprediksi perilaku mereka secara akurat.
Teori constructivism dari Delia menggagas bahwa orang dengan kemampuan kognitif yang kompleks memiliki kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.
Axiom 15: semakin tinggi kemampuan kita untuk mentolerir ambiguitas ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan meningkatkan kemampuan kita dalam mengontrol anxiety kita dan meningkatkan kemampuan kita untuk secara akurat, memprediksi perilaku orang asing.

Axiom 16: semakin tinggi kemampuan kita untuk berempati kepada oran gasing akan semakin tinggi pula kemampuan kita untuk memprediksi perilaku orang lain secara akurat.

 Pengkategorian Sosial Orang-Orang Asing

Axiom 20: semakin tinggi persamaan personal yang kita rasakan antara kita dengan orang asing, semakin tinggi pula kemampuan kita untuk mengontrol anxiety dan kemampuankita dalam memprediksi perilakunya. Boundary condition: mengerti perbedaan kelompok itu kritikal hanya jika ketika seorang asing benar-benar punya banyak persamaan dengan kelompok.

Axiom 25: semakin tinggi kewaspadaan kita terhadap pelanggaran orang asing terhadap keinginan positif kita atau penegasan trhadap keinginan negative kita, semakin tinggi pula anxiety kita dan semakin menurun rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku mereka.

 Situational Precesses

Axiom 27: peningkatan situasi informal ketika kita berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan anxiety kita dan peningkatan kepercayaan diri kita dalam memprediksi perilaku orang asing.

 Connection with Strangers

Axiom 31: peningkatan ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan anxiety kita dan peningkatan kepercayaan diri kita dalam memprediksi perilakunya.

Axiom 37: peningkatan network (jaringan) yang kita bagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan anxiety dan peningkatan kepercayaan diri kita dalam memprediksi perilakunya.

Kritik: Overwhelmed by Intergroup Variables─Dipenuhi dengan Variabel-Variabel Intergroup
Beberapa kritik yang ditujukan para ahli pada teori ini adalah:
 Jika teori uncertainty reduction dari Berger menampilkan 7 aksioma yang diperluas menjadi 21 teorem, Gudykunst dalam AUM malah menawarkan 47 aksioma yang bisa diperluas lagi. Nampaknya sulit merangkul semuanya dalam hubungan anxiety, uncertainty, mindfulness, dan effective communication.

 Pada aksioma 47, disebutkan bahwa peningkatan kemampuan kita dalam mengontrol anxiety mengenai berinteraksi dengan orang asing dan peningkatan pada prediksi yang akurat serta penjelasan mengenai perilakunya, akan menghasilkan peningkatan pada keefektifan komunikasi kita. Meskipun aksioma inti ini sifatnya conditional, tetap saja aksioma ini bermaksud menyatakan bahwa hanya dengan ‘mindful’ terhadap orang asing, komunikasi yang efektif bisa tercapai. Gudykunst lantas menambahkan anxiety dan uncertainty di bawah ambang batas tidak akan menghsilkan peningkatan dalam keefektifan. Dan dan anxiety serta uncertainty di atas ambang batas maksimum akan menyebabkan penurunan keefektifan.