Saturday, July 3, 2010

Muted Group Theory (Cheris Kramarae): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Kramarae menyatakan bahwa bahasa (language) secara harfiah, adalah sebuah man-made construction. Ia menegaskan bahwa bahasa dari sebuah budaya khusus tidak melayani semua orang yang mengucapkannya secara sama, karena memang tidak semua speaker memberikan kontribusi yang sama dalam formulasinya. Wanita, dan anggota dari kelompok subordinat lain, tidaklah bebas atau bisa mengatakan apa, yang ingin mereka katakana, kapan, dan di mana, karena kata-kata dan norma-norma yang mereka gunakan telah diformulasikan oleh kelompok dominan, yaitu pria.

Menurut Kramarae, kata-kata wanita tidak dihargai dalam masyarakat kita. Pemikiran wanita mengalami hal yang sama. Ketika wanita mencoba meniadakan ketidakadilan ini, kontrol pria terhadap komunikasi menempatkan wanita dalam ketidakberdayaan. Man-made language membantu mendefinisikan, menjatuhkan, dan meniadakan wanita. Wanita adalah the muted group (kelompok yang dibungkam). Tipe dominansi pria pada bahasa hanyalah satu aspek saja dari berbagai cara untuk membungkam kepentingan wanita dalam masyarakat.

Muted Groups: Black Holes in Someone Else’s Universe
Ardener berasumsi bahwa ketidakpedulian terhadap pengalaman wanita merupakan masalah unik gender bagi social-anthropology. Ia kemudian sadar bahwa mutedness (kebisuan) disebabkan karena kekurangan kekuasaan (power). Orang-orang yang memiliki sedikit kekuatan tidak menyadari masalah bahasa yang mereka gunakan untuk mengungkapkan persepsi mereka.

Menurut Ardener, muted structures ada di dalamnya, tetapi tidak sadar dalam penggunaan bahasa yang diciptakan kelompok dominan. Sebagai hasilnya, mereka diabaikan, disia-siakan, dan tidak terlihat. Seperti black holes in someone else’s universe.

Namun Ardener mengingatkan bahwa muted group tidak selalu diam. Isunya adalah apakah orang dapat mengatakan hal yang ingin mereka katakan saat dan di tempat mereka ingin mengatakannya. Atau haruskah mereka me-re-encode pemikiran mereka untuk membuat mereka dimengerti oleh public dominan? Kramarae merasa yakin bahwa posisi kekuasaan dominan pria dalam masyarakat menjamin bahwa cara ekspresi publi tidaklah secara langsung tersedia bagi wanita.

Pada hakikatnya, Kramarae hanyalah salah seorang feminis yang ingin megungkapkan kebungkaman yang sistematik atas suara wanita (women voice). Para feminis memiliki agenda penelitian yang menganggap penting pengalaman wanita.

Kekuatan Maskulin untuk Menamai Pengalaman
Karamarae memulai bahasannya dengan asumsi bahwa wanita melihat kenyataan di sekitarnya dengan cara yang berbeda dengan pria karena keduanya mengalami pengalaman dan aktivitas yang berbeda berdasarkan pembagian kerja (division of labor). Ia yakin bahwa ketidaksesuaian kekuasaan antar jenis kelamin memastikan bahwa wanita memandang dunia dengan cara yang berbeda dengan pria. Seringkali pengalaman wanita ini harus diungkapkan kemudian disensor terlebih dahulu oleh pria. Padahal saling pengertian sebenarnya mampu terbentuk jika ada diskusi lebih lanjut mengenai hal itu. Namun, masalah yang dihadapi wanita adalah diskusi itu tidak pernah benar-benar terjadi di lapangan. Persepsi pria dominan karena dominansi politik mereka, yang kemudian mengekang kebebasan berekspresi wanita sebagai mode alternatif di dunia. Pemilik mode ekspresi di dunia adalah pria dan pria pula yang membingkai diskusi.
Menurut teori symbolic interactionism dari Mead, perluasan pengetahuaan adalah perluasaan penamaan (naming). Jika ini benar, maka siapapun yang punya kemampuan naming, ia akan memiliki kekuasaan yang luar biasa. Selanjutnya, menurut pendekatan socio-cultural, bahasa membentuk persepsi kita akan realitas. Maka, menurut Kramarae, pengabaian terus-menerus terhadap kata-kata, dapat membuat pengalaman itu menjadi unspoken, bahkan unthought. Akibatnya, lama-kelamaan, muted women akan meragukan validitas pengalaman dan legitimasi perasaan mereka.

Pria sebagai Gatekeepers Komunikasi
Meskipun public mode of expression memiliki begitu banyak kosakata untuk mendeskripsikan pengalaman feminin, wanita akan tetap di-muted ketika mode of expression mereka diabaikan. Dalam masyarakat terjadi pembangunan kultural tentang peran luar biasa pria dengan tidak mengakui atau mempublikasikan seni, puisi, skenario, public address, dan esay akademik wanita. Selama 500 tahun wanita dilarang membuka bisnis. Bahkan pengaruhnya dalam media cetak dibatasi hingga tahun 70-an. Kramarae menyebutnya malestream expression. Menurut Dorothy Smith, pria menganggap penting hanya pembicaraan yang diucapkan pria. Lingkaran pria yang menulis dan berbicara sangat penting bagi satu sama lain. Apa yang dilakukan pria hanya relevan bagi pria, ditulis oleh, tentang, dan untuk pria. Pria didengarkan dan mendengarkan satu sama lain.

Janji yang Tak Terpenuhi tentang Internet
Kita berasumsi bahwa ketika internet muncul, era gatekeeping yang dilakukan oelh pria, telah berakhir. Namun tidak demikian menurut Kramarae. Di bawah ini ada 4 kiasan untuk menggambarkan hal itu:

Information Superhighway, yaitu masih sulit bagi wanita untuk mengakses pelayanan inernet dengan harga yang relative masih tidak terjangkau bagi wanita, serta situs tidak dirancang secara khusus untuk menyambut wanita.
The New Frontier, yaitu pria berpandangan bahwa komputer dan online tidak cocok bagi wanita.
Democracy, yaitu karena kaum wanita belum menjadi kelompok yang ‘membuat pengetahuan (knowledge), maka wanita justru harus lebih berhati-hati ketika menelusuri dunia maya.
A Global Community, lewat internet, wanita bisa saling berbagi pengalaman dengan orang lain di seluruh dunia. Namun internet menghadirkan komunitas yang telah eksis tanpa mendorong pihak-pihak yang tidak hadir untuk berpartisipasi. Untuk mendapt kepercayaan, para pria membuat site ‘women only’ untuk menipu wanita dan mendapatkan kepercayaan mereka.

Women’s Truth into Men’s Talk: The Problem of Translation
Mengasumsikan bahwa dominansi maskulin dalam komuniksi publik adalah sebuah realitas yang tengah terjadi, Kramarae menyatakan, untuk berpartisipasi dalam masyarakat, wanita harus mentranslasikan model mereka ke dalam sistem ekspresi pria yang dipakai masyarakat selama ini. Seperti bicara dengan bahasa kedua, translasi ini butuh proses yang terus-menerus. Apa yang ingin dikatakan wanita tidak dapat diungkapkan secra benar-benar tepat karena bahasa yang ada bukanlah buatan mereka. Dan, layaknya seperti bahasa kedua, ketika translasi selesai dilakukan, kata-kata yang telah ditranslasikan itu tidak benar-benar mengungkapkan maksud wanita.

Speaking Out in Private: Networking with Women
Menurut Kramarae, wanita cenderung mencari cara yang berbeda dalam mengekspresikan pengalamannya kepada public. Wanita menggunakan diary, jurnal, surat, cerita, dongeng, gossip, seni, puisi, nyanyian, maupun parodi nonverbal. Pria biasanya lupa akan sekitarnya jika telah berkomuniksi dengan wanita lewat channels tersebut. Karamarae yakin bahwa pria memiliki kemampuan yang lebih rendah dari wanita dalam mengerti maksud dari lawan jenis. Namun pria tetap melakukan itu karena mereka sadar bahwa mendengarkan wanita itu perlu untuk membangun kehormatan yang lebih besar lagi untuk dirinya.

Speaking Out in Public: A Feminist Dictionary
Tujuan utama dari muted theory adalah untuk mengubah man-made linguistic system yang membuat wanita tidak bisa maju dan berkembang. Menurut Kramarae, salah satunya dibakukan oleh kamus-kamus yang beredar. Kemudian ia dan Paula Treichler membuat kompilasi kamus feminis yang menawarkan definisi untuk kata-kata wanita.

Sexual Harassment: Coining A Term to Label Experience
Pelecehan seksual (sexual harassment) tidaklah terjadi secara acak menurut Kramarae. Wanita telah menjadi objek tetap pelecehan seksual. Ini terjadi karena wanita tidak memiliki kekuasaan (power) yang besar dalam masyarakat sehingga ia senantiasa dilecehakn dan direndahkan. Masih menurut Kramarae, istilah sexual harassment sendiri digunakan pertama kali pada sebuah kasus di pengadialn pada akhir tahun 1970. itu adalah kata legal petama yang didefinisikan oleh wanita. Dan bagi muted group, perjuangan untuk mengimbangi man-made language, terus berlangsung.

Kritik: Is A Good Man Hard to Find (And Change)?
Mengapa budaya patriarki dianut oleh kita? Mengapa pria begitu ingin mendominasi msyarakat? Pertanyaan tentang motif pria ini adalah sesuatu yang problematis. Menurut Kramarae, pria berusaha mengontrol wanita. Namun anggapan ini dibantah oleh Tannen. Tannen setuju bahwa perbedaan gaya komunikasi antara pria dan wanita menyebabkan ketidakseimbangan kekuasaan. Namun Tannen menolak alasan yang diajukan Kramarae. Menurut Tannen, penyebabnya adalah gaya yang berbeda (different style) antara pria dan wanita. Kramarae membantahnya kembali dengan menyatakan bahwa alasan itu terlalu naïve. Kramarae menyalahkan hirarki politik, pendidikan, agama, legal, ras, system support gender, dan kelas. Respons kita pada muted theory bergantung pada apakah kita mendapat manfaat atau malah menjadi korban atas sistem ini.

Standpoint Theory (Sandra Harding dan Julia T. Wood)

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Dalam teori ini, Harding dan Wood menggagas bahwa salah satu cara terbaik untuk mengetahui bagaimana keadaan dunia kita, yaitu dengan memulai penyelidikan kita dari standpoint kaum wanita dan kelompok-kelompok marginal lain. A standpoint adalah sebuah tempat di mana kita memandang dunia di sekitar kita. Apapun tempat yang menguntungkan itu, lokasinya cenderung memfokuskan perhatian kita pada beberapa fitur dalam bentangan alam dan sosial dengan mengaburkan fitur-fitur lainnya. A standpoint bermakna sama dengan istilah viewpoint, perspective, outlook, atau position. Dengan catatan bahwa istilah-istilah ini digunakan dalam tempat dan waktu khusus, tetapi semuanya berhubungan dengan perilaku dan nilai-nilai. Standpoint kita mempengaruhi worldview kita.

Menurut Harding, ketika orang berbicara dari pihak oposisi dalam hubungan kekuasaan (power relations), perspektif dari kehidupan orang-orang yang tidak memiliki power, menyediakan pendangan yang lebih objektif daripada pandangan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Yang menjadi fokus bahasannya adalah standpoint kaum wanita yang selama ini termarginalisasi.

Standpoint Seorang Feminis Berakar pada Filosofi dan Literatur
Georg Hegel (filosof Jerman) menganalisis hubungan majikan-budak untuk menunjukkan apa yang orang tahu tentang diri mereka, orang lain, dan masyarakat berdasarkan di mana mereka menjadi bagian dalam kelompok itu. Majikan dan budak memiliki perspektif yang berbeda ketika keduanya menghadapi realitas yang sama. Namun ketika ‘para tuan’ membangun struktur masyarakat, mereka memiliki kekuasaan (power) untuk membuat perspektif yang mereka miliki juga dianut oleh orang-orang dari kelompok yang lain. Referensi berikutnya adalah teori Karl Marx dengan konsep kaum borjuis dan proletarian serta ‘class struggle’. Para feminis mengganti konsep proletarian dengan kaum wanita, dan mengganti perjuangan kelas dengan ‘gender discrimination’. George Herbert Mead menggagas bahwa kebudayaan (culture) dianut oleh manusia lewat komunikasi. Dengan menggunakan gambaran prinsip symbolic interactionism, Wood menyatakan bahwa gender lebih merupakan sebuah konstruksi budaya daripada sebuah karakteristik biologis. Berdasarkan teori postmodernism, para feminis mengkritik kenyataan bahwa rasionalitas dan western science, didominasi oleh pria.
Harding dan Wood menggambarkan semua teori berdasarkan pendekatan konflik di atas, tanpa membiarkan teori-teori itu membentuk atau mempengaruhi substansi pendekatan standpoint mereka.

Wanita sebagai Kelompok yang Termarginalisasi
Para ahli teori ini melihat perbedaan-perbedaan penting antara pria dan wanita. Untuk menggambarkan ini, Wood menggunakan teori relational dialectic tentang autonomy-connectedness. Pria dianggap lebih otonom, sedangkan wanita dianggap lebih suka berhubungan dengan orang lain. Namun Wood melihat perbedaan seperti ini, serta perbedaan lain yang begitu luas antara pria dengan wanita, merupakan hasil dari cultural expectation serta perlakuan yang diterima pria dan wanita dari orang lain.
Selain isu gender, Harding juga menekankan kondisi ekonomi, ras, orientasi seksual sebagai identitas kultural tambahan yang dapat membuat orang berada di tengah masyarakat atau menjadi orang yang terpinggirkan. Standpoint theory menekankan pentingnya social location karena mereka yakin bahwa orang yang berada di puncak societal hierarchy adalah orang-orang yang memiliki previlise untuk mendefinisikan apa dan bagaimana artinya ‘menjadi wanita’, atau ‘menjadi pria’, atau hal-hal lain, bagian dari budaya, yang dianut masyarakat.

Knowledge from Nowhere versus Local Knowledge
Mengapa standpoint begitu penting? Karena, menurut Harding, kelompok sosial yang memiliki kesempatan untuk mendefinisikan problematika, konsep, asumsi, dan hipotesis yang penting dalam sebuah bidang ilmu, akan meninggalkan bekas sosialnya pada gambaran dunia yang berasal dari hasil penelitian dalam bidang itu.
Penekanan Harding terletak pada local knowledge untuk menentang pernyataan bahwa traditional western science yang mengungkapkan ‘truth’, bebas nilai dan objektif. Harding dan para ahli standpoint theory lainnya bersikukuh bahwa tidak ada kemungkinan bagi teciptanya perspektif yang tanpa bias, yang tanpa ditunggangi kepentingan-kepentingan, impartial, bebas nilai, atau terlepas dari situasi sejarah tertentu.

Namun Harding dan Wood tidak menyatakan bahwa standpoint wanita atau kelompok minoritas lainnya, memberikan pandangan yang jelas akan sesuatu. Situated knowledge akan selalu parsial. Para ahli standpoint theory memelihara perspektif bahwa kelompok subordinat memberikan gambaran dunia yang lebih lengkap dan karenanya, lebih baik daripada gambaran yang diberikan oleh kelompok masyarakat yang terhormat.

Objektifitas yang Kuat: Tinjauan yang Lebih Parsial dari Standpoint Wanita
Harding menggunakan istilah strong objectivity untuk menyebut strategi memulai penelitian ini dari kehidupan wanita dan kelompok termarginalisasi lainnya yang kepentingan dan pengalamannya, biasanya diabaikan. Mengapa standpoint wanita dan kelompok lain yang termarginalisasi dapat menampilkan perspektif yang lebih menyeluruh, lebih tepat, atau lebih benar dibandingkan perspektif pria yang berada pada posisi dominan? Wood menawarkan dua penejalasan. Pertama, orang-orang dengan status subordinat memiliki motivasi yang lebih besar untuk mengerti perepektif dari orang-orang dengan kekuasaan lebih. Alasan yang kedua, yaitu karena kelompok-kelompok ini biasanya dipinggirkan, maka mereka punya sedikit alasan untuk mempertahankan status quo.

Menurut Harding, perspektif objektif dari kehidupan wanitalah yang memberikan standpoint yang lebih disukai dalam melakukan proyek-proyek penelitian, hipotesis dan interpretasi.

Teori ke Praktik: Penelitian Komunikasi Berdasarkan Kehidupan Wanita
Ada contoh di bawah ini yang mampu menggambarkan sebuah model penelitian komunikasi yang berawal dari kehidupan wanita. Julia Wood mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai seorang wanita kulit putih, heteroseksual, wanita profesional, yang memikul tanggung jawab untuk mengurus kedua orangtuanya hingga keduanya meninggal. Wood lantas melihat bahwa praktik-praktik gendered communication merefleksikan sekaligus memaksakan societal expectation kita bahwa caregiving adalah pekerjaan wanita. Ia mendengar kata-kata bahwa dirinya memang sudah seharusnya mampu mengurus orangtua dan keluarga, dari ayah dan koleganya.

Wood percaya bahwa kebudayaan itu sendiri harus direformasi dengan cara menjauhkan istilah caring terhadap afiliasi historisnya dengan wanita dan hubungan pribadi dan mendefinisikannya kembali sebagai hal yang penting dan merupakan bagian integral dari kehidupan publik kolektif kita.

Contoh lain tentang studi komunikasi yang berawal dari standpoint wanita adalah konsep invitational rhetoric yang diajukan oleh Sonja Foss dan Cindy Griffin. Foss dan Griffin mengajukan konsep offering sebagai pendekatan alternatif terhadap rhetoric yang merefleksikan kehidupan wanita. Invitational rhetoric adalah sebuah undangan untuk mengerti sebagai cara untuk menciptakan suatu hubungan yagn berakar pada persamaan, nilai yang tetap ada, dan self-determinism. Dalam offering, orator mengatakan apa yang mereka ketahui dan mengerti. Mereka menghadirkan penglihatan mereka akan dunia dan menunjukkan bagaimana dunia terlihat dan bagaimana dunia mempengaruhi mereka.

Kritik: Are Standpoints on The Edge Less False?
Beberapa kritik bagi teori ini adalah sebagai berikut:
 Meskipun standpoint theory pada awalnya dibangun untuk mengapresiasi nilai dari pespektif wanita, teori ini kemudian diaplikasikan pula pada kelompok-kelompok marginal lainnya. Karena pembahasannya menjadi semakin spesifik, maka konsep solidaritas kelompok yang menjadi inti teori ini patut dipertanyakan. Hekman dan Hirschmann menyatakan bahwa tidak ada sebuah ekspresi lewat kata-katapun yang bebas dari nilai, termasuk wanita dan kelompok-kelompok marginal lainnya,
 Konsep strong objectivity sebenarnya kontradiktoris. Jika ditinjau dari postmodern, standpoint theory menyatakan bahwa standpoint itu sifatnya relatif dan tidak dapat dievaluasi dengan kriteria mutlak. Di sisi lain, Sandra dan Wood menekankan bahwa perspektif wanita ini lebih bebas bias dan lebih netral daripada perspektif kelompok yang lebih terhormat.

Face-Negotiation Theory (Stella Ting-Toomey): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Teori ini membantu menjelaskan perbedaan-perbedaan budaya dalam merespons konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa setiap orang dalam setiap budaya sebenarnya selalu menegosiasikan face. Face adalah istilah kiasan untuk public self-image, yaitu bagaimana kita ingin diperlakukan oleh oran glain. Sedangkan facework berhubungan dengan pesan-pesan verbal dan nonverbal spesifik yang membantu memelihara dan memulihkan face loss (kehilangan muka), dan untuk menegakkan dan serta menghormati face gain. Teori ini menyatakan bahwa facework dari budaya individualistic sangat berbeda dengan facework budaya kolektivistik. Artinya, jika facework-nya berbeda, maka cara menangani konfliknya juga berbeda.

Collectivism Versus Individualism
Teori ini berdasar pada pembedaan antara collectivism dan individualism. Menurut Harry Triandis, perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari cara mendefinisikan tiga istilah, yaitu self (diri), goals (tujuan), dan duty (tugas). Menurut Triandis, orang yang kolektivis mendefinisikan self-nya sebagai anggota dari kelompok-kelompok tertentu, dia tidak akan melawan tujuan kelompok, serta melaksanakan tugas yang berorientasi pada lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada kepentingan pribadi. Orang-orang kolektifis biasanya menilai orang baru berdasarkan asal kelompoknya. Bukan berarti mereka tidak peduli pada tamu mereka, tetapi hal ini semata-mata karena mereka menganggap keunikan individual tidak lebih penting daripada group-based information.

Sedangkan orang yang individualis akan mendefinisikan self-nya sebagai seseorang yang independent dari segala kelompok afiliasi, tujuannya adalah memenuhi kepentingan pribadinya, dan melakukan segala tugas yang menurutnya menyenangkan dan menguntungkan diri sendiri. Selain itu, orang yang individualistis tertarik mengenal seseorang karena keunikannya dan kepribadiannya.

The Multiple Faces of Face
Ting-Tomeey melihat bahwa face menjadi perhatian universal bagi setiap orang. Ini terjadi karena face adalah perluasan dari self-concept, vital, dan identity-based resource. Menurut Brown dan Levingson, face adalah ‘the public self-image’ yang ngin ditampilkan sebagai diri oleh setiap orang dalam masyarakat. Ting-Toomey mendefinisikan face sebagai ‘the projected image’ mengenai diri seseorang dalam sebuah relational situation.

Selanjutnya, Ting-Toomey menyoroti isu-isu yang mengubah face menjadi objek studi multifaceted. Face bermakna berbeda pada orang yang berbeda, bergantung pada budaya dan identitas individualnya.

Face-restoration adalah strategi facework yang digunakan untuk mencanangkan tempat unik, mempertahankan otonomi, dan melawan segala usaha untuk menghilangkan kebebasan pribadi. Face-restoration adalah tipikal face strategy dalam budaya individualistis. Karenanya, ketika ada masalah, orang yang individualistis akan lebih membela dan meyalamatkan wajah mereka dengan menyalahkan situasi yang tengah terjadi.

Face-giving adalah perhatian untuk orang lain yang merupakan facework strategy untuk mempertahankan atau mendukung kebutuhan seseorang untuk menjadi bagian dari kelompok. Ini merupakan karakteristik face strategy yang digunakan masyarakat kolektifis.

Face: Linking Culture and Conflict Management─Menghubungkan Budaya dan Managemen Konflik
Teori face-negotiation dari Ting-Toomey menawarkan rantai kausal dua langkah dengan face maintenance sebagai rantai penjelasan antara budaya dan gaya penanganan konflik.

Type of culture → Type of maintenance → Type of conflict management

Berdasarkan karya M. Afzalur Rahim, Ting-Toomey mengidentifikasikan 5 respons yang berbeda pada berbagai situasi bardasarkan perbedaan kebutuhan, kepentingan, atau tujuan, yaitu:
Avoiding, yaitu menghindari diskusi dengan kelompok tentang perbedaan yang kita miliki.
Obliging, yaitu menyampaikan harapan atau keinginan kepada kelompok, tetapi menyerahkan keputusan sepenuhnya pada kelompok.
Compromising, yaitu mengadakan give-and-take atau saling bertukar pikiran agar kompromi bisa diciptakan.
Dominating, yaitu teguh dalam mempertahankan pendapat pribadi demi kepentingan pribadi.
Integrating, yaitu saling bertukar informasi yang akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama.
Di bawah ini diperlihatkan diagram mengenai kelima tipe menagemen konflik berdasarkan culture-related face concern.





Pada diagram di atas, terlihat bahwa obliging, compromising, dan avoiding berada pada area collectivism. Ketiganya juga berada pada titik yang berbeda pada aarea tersebut, bergantung pada tingkat kepedulian terhadap self-face-nya sendiri. Begitu juga dengan integrating dan dominating. Terlihat bahwa integrating adalah level ketika seseorang meletakkan pendapat atau tujuan pribadi tidak semata-mata untuk memenuhi kepentingan pribadinya, tetapi juga karena ia peduli pada orang lain.

A Revised-Face Negotiation Theory
Ting-Toomey merevisi diagram yang ditawarkannya dengan melihat bahwa tidak hanya budaya yang mempengaruhi gaya managemen konflik orang. Ia menambahkan perhatian pada power (kekuasaan) pada teorinya.
Konflik Gaya Baru
Karena selama ini menggunakan sample penelitian orang Barat, Ting-Toomey melihat ada sesuatu yang kurang dalam teorinya ketika penelitiannya mengacu pada keragaman etnik yang ada di dunia. Ia kemudian menambahkan gaya:
 emotional expression, menunjukkan segala perasaan yang dimiliki hati dan diriku,
passive aggression, tanpa benar-benar mengatakan bahwa seseorang malas, berusaha membuat orang lain merasa bersalah, dan
third-party help, mencari bantuan pihak ketiga sebagai penengah agar jalan keluar bisa dicapai.

Power Distance
Hofstede mendefinisikan power distance sebagai suatu perluasan di mana anggota mayarakat dengan power yang lebih lemah menerima bahwa power sebenarnya terdistribusi secara tidak sama (unequal).sebagai contoh, masyarakat dengan fragmentasi sosial yang tinggi seperti Meksiko, menerima bahwa kekuasaan memang tidak terdistribusi secara sama. Karena itu mereka menerima sistem pemerintahandan pengambilan keputusan yang autokratis. Sebaliknya di Amerika Serikat, di mana setiap individu disebut-sebut memiliki hak yang sama, sistem pemerintahannya demokratis.

Application: Competent Intercultural Facework
Tujuan utama yang hendak dicapai oleh teori milik Ting-Toomey ini adalah mengidentifikasi bagaimana orang-orang dengan budaya yang berbeda dapan bernegosiasi (negotiate face) atau menangani konflik. Menurutnya, ada tiga syarat ketrampilan yang harus dipenuhi agar komunikasi antarbudaya bisa efektif, yaitu:

Knowledge─pengetahuan, adalah dimensi terpenting dalam kompetensi facework. Untuk bisa berkomunikasi dengan orang baru, kita harus tahu hal-hal yang berbeda antara kita dengannya. Dari situ kita bisa mengatur strategi apa yang bisa kita gunakan untuk berkomunikasi dengannya

Mindfulness─artinya waspada terutama pada asumsi, sudut pandang, dan kecenderungan etnik kita sendiri ketika kita memasuki situasi yang tidak biasa (unfamiliar situation). Minfulness adalah memperhatikan perspektif dan interpretasi orang lain yang asing bagi kita dengan memandang intercultural episode.

Interaction skill─yaitu kemampuan untuk berkomunikasi secara tepat, efektif, dan adaptif dalam setiap situasi yang kita alami.

Kritik: Confounded by Individual Differences─Dikacaukan oleh Perbedaan-Perbedaan Individual
Beberapa kritik yang dilontarkan pada teori ini adalah:
 Contoh yang diberikan dalam teori ini menggambarkan budaya kolektivisme orang Jepang dan budaya individualisme orang Amerika Serikat. Namun sangat berbahaya menciptakan stereotype yang general bagi masyarakat Jepang atau Amerika Serikat. Kenyataannya, ketika digambarkan dalam satu garis lurus, ada area yang overlapping atau tumpang tindih antara perilaku kolektivisme atau individualisme masyarakat Jepang maupun Amerika Serikat.
 Ting-Toomey memperkenalkan konsep independent dan interdependent dengan mengacu pada ‘derajat di mana orang akan merasa dirinya adalah manusia otonom atau terhubung dengan orang lain’. Markus dan Kitayama menyebutnya dengan self-construal atau self-image. Karenanya kemudian Ting-Toomey merevisi teori face-negotiation-nya menjadi:

Type of culture ─ Type of self-construal ─ Type of face-maintenance ─ Type of conflict management

Anxiety/Uncertainty Management Theory (William Gudykunst ): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Mengenal Orang Asing

Teori Anxiety/Uncertainty Management (AUM) memusatkan bahasannya pada pertemuan antara budaya kelompok (cultural in-group) dengan orang asing (stranger). Gudykunst ingin teorinya dapat diaplikasikan di berbagai situasi di mana perbedaan antar manusia menimbulkan keraguan dan ketakutan. Ia berasumsi bahwa sedikitnya ada seseorang dalam sebuah intercultural encounter (pertemuan antar budaya) yang menjadi orang asing (stranger). Yaitu ketika ada sederet perasaan yang dialaminya, yaitu anxiety (kegelisahan) dan uncertainty (ketidakpastian)─merasa tidak aman dan tidak tahu bagaimana harus bersikap.
Gudykunst memperjelas bahwa AUM memang adalah sebuah terori yang sedang dalam keadaan construction. Teori ini bermaksud menjembatani gap/ batas budaya melalui komunikasi yang efektif.

Effective Communication: Hasil dari Mindfulness
Menurut Gudykunst, term effective communication sebagai proses untuk meminimalisasikan misunderstanding. Penulis lain menganggapnya sama dengan istilah accuracy (keakuratan), fidelity (kejituan), dan understanding (pengertian). Ia menganggap suatu komunikasi itu efrktif jika seseorang dapat memprediksi dan menjelaskan perilaku pihak yang lain. Teori AUM sendiri didesain untuk menjelaskan komunikasi face-to-face yang efektif. Komunikasi yang mindfulness adalah komunikasi yang mengurangi anxiety dan uncertainty, bukan malah menambahnya. Dan ini bisa dilakukan dengan memperhatikan ketika orang lain berbicara dan mencari tahu bagaimana menanggapinya dengan tepat.

William Howel menawarkan empat level kompetensi komuniksi, yaitu:
1. unconscious incompetence. Kita salah menginterpretasikan perilaku orang lain dan bahkan tidak sadar bahwa kita melakukannya. Pengabaian adalah kebahagiaan.
2. conscious incompetence. Kita tahu bahwa kita salah menginterpretasikan sikap orang lain, tetapi kita tidak melakukan apapun untuk itu.
3. conscious competence. Kita memikirkan komunikasi kita dan secara terus-menerus berusaha mengubah hal yang kita lakukan agar komunikasi kita lebih efektif.
4. unconscious competence. Kita telah membangun ketrampilan berkomunikasi pada tingkatan ketika kita tidak perlu lagi harus berpikir tentang bagaimana kita berbicara atau mendengarkan.
Menurut Gudykunst, mindfulness berarti komunikasi kita berada pada level 3.

Anxiety (Kegelisahan) dan Uncertainty (Ketidakpastian): Twin Offspring of Cultural Variability
Gudykunst percaya bahwa penyebab dasar kegagalan komunikasi dalam situasi intergrup adalah anxiety dan uncertainty. Keduanya berhubungan erat, tetapi Gudykunst membedakan keduanya. Uncertainty adalah kognitif─pengertian, dan anxiety adalah afektif─emosi. Uncertainty adalah pikiran, dan anxiety adalah perasaan. Gudykunst mendefinisikan anxiety sebagai perasaan gelisah, tekanan, khawatir atau takut akan hal yang akan terjadi. Gudykunst membuat generalisasi tentang hal ini, yaitu semakin lebar gap antar budaya, maka semakin tinggi pula level anxiety dan uncertainty yang dialami seseorang.

Namun anxiety dan uncertainty tidak selamanya buruk. Menurut Gudykunst, level minimal dari keduanya tetap dibutuhkan untuk menghindarkan kita dari malas, bosan, dan terlalu percaya diri dalam memprediksi sesuatu. Namun sedikit saja keduanya melewati ambang batas useful stimulation, ini akan menyebabkan kegagalan dalam komunikasi.

Mengatur Anxiety dan Uncertainty ketika Ada Budaya yang Bertentangan
Bagaimana menciptakan komunikasi yang efektif? Gudykunst menampilkan 37 aksioma yang terpisah, yang dikelompokkannya ke dalam enam kategori. Setiap aksioma menjelaskan variabel spesifik yang mempengaruhi level anxiety dan uncertainty. Di bawah ini akan ditampilkan 10 aksioma Gudykunst, yaitu:

Self dan Self-Concept
Axiom 5: kenaikan dalam self-esteem (kebanggaan) dalam diri kita ketika kita berinteraksi dengan orang lain akan menaikkan pula kemampuan kita dalam mengatur anxiety kita.

Symbolic interactionism dari Mead menawarkan self-image dengan memperhatikan bagaimana orang lain melihat kita─the looking glass self. Dasar itulah yang terlihat dalam aksioma di atas. Ketika kita merasa bangga pada diri kita, rasa percaya diri juga akan tumbuh. Di saat kita merasa percaya pada diri kita, kegelisahan kita ketika mnghadapi orang lain, akan berkurang.

Motivasi untuk Berinteraksi dengan Orang Asing
Axiom 7: kenaikan dalam kebutuhan merasa diterima dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan menaikkan anxiety kita.
Ketika kita begitu ingin diterima dalam suatu kelompok, kita akan makin gelisah dan pikiran kita akn dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana harus bersikap, apa yang harus dikatakan agar kita bisa diterima di kelompok itu.

 Reaksi terhadap Orang Asing

Axiom 12: kenaikan dalam ketrampilan kita untuk secara kompleks memproses informasi tentang orang asing akan menaikkan kemampuan kita dalam memprediksi perilaku mereka secara akurat.
Teori constructivism dari Delia menggagas bahwa orang dengan kemampuan kognitif yang kompleks memiliki kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.
Axiom 15: semakin tinggi kemampuan kita untuk mentolerir ambiguitas ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan meningkatkan kemampuan kita dalam mengontrol anxiety kita dan meningkatkan kemampuan kita untuk secara akurat, memprediksi perilaku orang asing.

Axiom 16: semakin tinggi kemampuan kita untuk berempati kepada oran gasing akan semakin tinggi pula kemampuan kita untuk memprediksi perilaku orang lain secara akurat.

 Pengkategorian Sosial Orang-Orang Asing

Axiom 20: semakin tinggi persamaan personal yang kita rasakan antara kita dengan orang asing, semakin tinggi pula kemampuan kita untuk mengontrol anxiety dan kemampuankita dalam memprediksi perilakunya. Boundary condition: mengerti perbedaan kelompok itu kritikal hanya jika ketika seorang asing benar-benar punya banyak persamaan dengan kelompok.

Axiom 25: semakin tinggi kewaspadaan kita terhadap pelanggaran orang asing terhadap keinginan positif kita atau penegasan trhadap keinginan negative kita, semakin tinggi pula anxiety kita dan semakin menurun rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku mereka.

 Situational Precesses

Axiom 27: peningkatan situasi informal ketika kita berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan anxiety kita dan peningkatan kepercayaan diri kita dalam memprediksi perilaku orang asing.

 Connection with Strangers

Axiom 31: peningkatan ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan anxiety kita dan peningkatan kepercayaan diri kita dalam memprediksi perilakunya.

Axiom 37: peningkatan network (jaringan) yang kita bagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan anxiety dan peningkatan kepercayaan diri kita dalam memprediksi perilakunya.

Kritik: Overwhelmed by Intergroup Variables─Dipenuhi dengan Variabel-Variabel Intergroup
Beberapa kritik yang ditujukan para ahli pada teori ini adalah:
 Jika teori uncertainty reduction dari Berger menampilkan 7 aksioma yang diperluas menjadi 21 teorem, Gudykunst dalam AUM malah menawarkan 47 aksioma yang bisa diperluas lagi. Nampaknya sulit merangkul semuanya dalam hubungan anxiety, uncertainty, mindfulness, dan effective communication.

 Pada aksioma 47, disebutkan bahwa peningkatan kemampuan kita dalam mengontrol anxiety mengenai berinteraksi dengan orang asing dan peningkatan pada prediksi yang akurat serta penjelasan mengenai perilakunya, akan menghasilkan peningkatan pada keefektifan komunikasi kita. Meskipun aksioma inti ini sifatnya conditional, tetap saja aksioma ini bermaksud menyatakan bahwa hanya dengan ‘mindful’ terhadap orang asing, komunikasi yang efektif bisa tercapai. Gudykunst lantas menambahkan anxiety dan uncertainty di bawah ambang batas tidak akan menghsilkan peningkatan dalam keefektifan. Dan dan anxiety serta uncertainty di atas ambang batas maksimum akan menyebabkan penurunan keefektifan.

The Media Equation (Byron Reeves dan Clifford Nass): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Reeves dan Nass tertarik pada cara orang berinteraksi dengan television, computer, dan media high-tech lainnya. Berdasarkan research program yang akan dipaparkan di bawah ini, Reeves dan Nass yakin bahwa orang memperlakukan media komunikasi seperti memperlakukan manusia.

The Media Equation: Media = Real Life
Dalam bukunya, The Media Equation, Reeves dan Nass menggagas bahwa kita menanggapi (response) media komunikasi seolah-olah media itu hidup. Implikasi praktis dari media equation ini adalah ketika kita menyalakan TV atau komputer kita, kita mengikuti aturan dari interpersonal interaction yang kita lalui selama hidup kita. Ini adalah human-media relations. Reeves dan Nass mengatakan bahwa media equation ini sifatnya sangat basic atau mendasar, jadi, “it applies to everyone, it applies often, and it is highly consequential”.

Beyond Intuition that Protests: “Not Me, I Know A Picture Is Not A Person”
The media equation jelas-jelas counterintuitive. Ketika kita menonton TV atau browsing internet, tidak seorangpun dari kita yang akan mengakui bahwa kita sebenarnya tengah merespons gambar-gambar di layar seolah-olah gambar-gambar itu nyata. Kita tahu bahwa yang ada di layar adalah gambar-gambar imajiner atau hanya representasi dari benda aslinya. Reeves dan Nass menyatakan sebaliknya. Keduanya menyatakan bahwa sebenarnya orang merespons media secara sosial (socially) dan alami (naturally), meskipun mereka mereka tahu itu adalah hal yang tidak masuk akal untuk dilakukan , dan meskipun mereka tidak berpikir bahwa respons itu mencirikan diri mereka sendiri. Suatu kondisi di mana perilaku kita tidak dipengaruhi atau disesuaikan dengan situasi yang kita alami. Di satu sisi kita bilang “not me” yang merepresentasikan bahwa kita adalah makhluk independen dan kita sadar bahwa yang kita lihat adalah buatan. Di sisi lain, kita menanggapi gambar-gambar itu seperti kita tengah melakukan interaksi interpersonal dengan seseorang.

Otak Lama Dibodohi Teknologi Baru
Untuk menjelaskan alasan mengapa manusia menanggapi media secara sosial dan alami, Reeves dan Nass menggunakan teori langkah evolusi yang lambat. Menurut mereka, otak manusia terlibat hanya dalam aktivitas dan perilaku sosial, dan melihat semua objek yang dirasakan adalah benda nyata. Apapun yang kelihatan nyata, menjadi benara-benar nyata. Jadi sebenarnya kita belum beradaptasi dengan keberadaan media baru sehingga apapun yang kelihatan nyata, dipersonifikasikan oleh kita.

Orang tentu saja bisa berpikir bahwa diri mereka tidak primitif dan tidak dapat begitu saja dikontrol media. Misalnya ketika kita menonton film horror, kita terus berusaha menghilangkan rasa takut atau rasa sedih kita dengan berkata pada diri sendiri, “ini tidak nyata. Ini tidak nyata. Ini bohong”. Namun sayangnya, jarang sekali kita melakukan itu. Kalaupun kita berusaha melakukannya, kita tidak mampu melakukannya secara konsisten atau terus-menerus ketika gambar-gambar dan suara-suara itu ada tepat di hadapan kita.

Membuktikan The Equation


Interpersonal Distance─jarak interpersonal. Sebuah penelitian dilakukan mengenai perubahan emosi, sikap, dan gesture beberapa orang ketika mereka sedang berhadapan dengan gambar orang yang tengah berbicara kepada mereka di layar TV dengan jarak yang berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa jarak antara penonton dengan TV berpengaruh terhadap perubahan sikap, emosi, dan gesture penonton. Menurut Reeves dan Nass, orang beranggapan bahwa sebuah gambar wajah, berhubungan dengan ukurannya, hanya merupakan simbol yang merepresentasikan orang yang tidak benar-benar ada di situ. Namun lebih dari itu, ukuran wajah secara luas mempengaruhi response psikologis─dari rasa ingin mendekat, sampai penilaian terhadap karakter.

Similarity and Attraction─persamaan dan daya tarik. Microsoft dan Macintosh memproduksi dua jenis software computer. Yang pertama Max, yaitu komputer yang menggunakan kata-kata perintah, menunjukkan dominansi terhadap pemakai. Yang kedua bernama Linus, yaitu komputer yang menggunakan kata-kata submissive. Reeves dan Nass menyatakan hal ini berpengaruh pada para pemakai komputer. Menurut mereka, ketika mesin dilengkapi dengan personality-like characteristics, orang akan merespons mesin seolah-olah benda itu punya personality. Meskipun orang-orang ini menyatakan bahwa mereka tidak percaya mesin benar-benar punya kepribadian.

Source Credibility─kredibilitas sumber. Misalnya, ketika kita mendengar dari teman kita tentang insiden pemboman di suatu daerah, kita tidak akanmudah percaya. Tetapi ketika kita menonton berita mengenai pemboman itu di TV lewat pembawa acra berita yang terkenal dan kredibel seperti Rosiana Silalahi, kita tentu akan lebih percaya pada Rosiana. Meskipun kita tahu bahwa mungkin saja Rosiana hanya membacakan berita saja tanpa menulis berita itu.

Kritik: One-Way Relationship yang Menggugah Rasa Ingin Tahu
Beberapa kritik yang disampaikan bagi teori ini adalah:
 Reeves dan Nass menggunakan konsepsi interpersonal communication dari sosial psikologi, bukan dari bidang komunikasi. Kebanyakan social-psych research melihat interpersonal communication sebagai komunikasi satu arah (one-way). Sebaliknya, kebanyakan ahli komunikasi mendefinisikan interpersonal communication sebagai the construction of shared meaning yang mempelajari pesan two-way flow, yang kemudian menciptakan common interpretation.
 Reeves dan Nass telah menunjukkan hasil yang mengejutkan mengenai anggapan mereka bahwa media berdampak pada parallel interpersonal effects. Namun ketika media equation ini diterapkan dalam beberapa penamuan mengenai shared meanings seperti constructivism, relational dialectics, atau program penelitian interpersonal lain, teori media equation lebih seperti metaphor yang kuat daripada kepastian matematis.

Agenda-Setting Theory (Maxwell McCombs dan Donald Shaw): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

The Original Agenda: Not What to Think, but What to Think About
McCombs dan Shaw percaya bahwa media massa memiliki kemampuan untuk mentransfer hal yang menonjol yang dimiliki sebuah berita dari news agenda mereka kepada public agenda. Pada saatnya, media massa mampu membuat apa yang penting menurutnya, menjadi penting pula bagi masyarakat. Bernard Cohen bahkan menyatakan bahwa pers bisa hampir selalu berhasil dalam menentukan what to think, tetapi yang lebih mencengangkan adalah bahwa pers juga berhasil menentukan what to think about.

McCombs dan Shaw menyatakan bahwa teori agenda-setting menyuarakan 2 fitur yang menarik, yaitu; bahwa teori ini menegaskan kembali tentang kekuatan pers sementara tetap memelihara keadaan bahwa tiap-tiap individu memiliki kebebesan untuk memilih. Focus pada kampanye-kampanye pemilihan, kedua ahli ini membuat hipotesis yang memprediksikan a cause-and-effect relationship antara isi media dengan persepsi pemilih.

Media Agenda dan Public Agenda: A Close Match
Karena kedua ahli ini memfokuskan bahasannya pada kampanye politis, hal pertama yang mereka lakukan adalah mengukur agenda media. Mereka membangun position dan length berita. Tujuannya jelas. Membuat agenda media ini menjadi agenda publik.

Apa Menyebabkan Apa?
Kedua ahli ini percaya bahwa hipotesis mengenai fungsi agenda-setting media bertanggung jawab akan hampir semua korelasi sempurna yang mereka temukan antara media dengan susunan prioritas publik. Artinya, media yang menentukan apa yang penting dan menjadi prioritas bagi msyarakat.

Media Agenda → Voters’ Agenda

Namun, kritik dari cultivation theory mengingatkan kita bahwa correlation (korelasi) bukanlah causation (penyebab). Sangat mungkin bahwa televisi, radio, dan koran merefleksikan keadaan sebenarnya yang telah ada.

Voters’ Agenda → Media Agenda

Karena yang menjadi perhatian dari teori agenda-setting adalah peran media dalam mempengaruhi susunan prioritas publk, berikut ini adalah contoh mengenai hipotesis itu: ketika media memilih untuk memberitakan kasus pemberian visa kepada 43 orang warga Papua oleh pemerintah Australia, dan dikecam oleh pemerintah Indonesia, semua orang membicarakan masalah ini. Masalah itu telah menjadi masalah nasional maupun internasional. Media memilih berita itu sebagai hal yang penting, bukan berita lainnya. Maka masalah inipun menjadi perbincangan hangat di mana-mana di Indoensia. Masyarakat juga antusias memperbincangkan masalah pemuatan karikatur presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyodomi orang Papua. Kenapa? Lagi-lagi karena media memuatnya.

Who Sets The Agenda for The Agenda Setter?
Sebelum sebuah berita dimuat di media, setiap naskah berita harus melalui the gatekeepers yang tugasnya adalah menentukan naskah mana yang akan dimuat atau tidak dimuat. Namun ada pihak-pihak yang mengatur dan memonopoli pemuatan naskah berita. Pihak-pihak itu adalah para kapitalis, pemilik media massa raksasa yang bukan hanya menentukan berita mana yang akan dimuat di medianya, tetapi bahkan media lain. Ini berhubungan dengan power dan source credibility. Media yang memiliki kekuatan dan akar kuat dalam masyarakat akan lebih dipercaya daripada media kecil atau media baru.

Siapa yang Paling Dipengaruhi oleh Agenda Media?
McCombs dan Shaw mengerti bahwa orang bukan makhluk otomatis yang hanya bisa menunggu untuk diprogram oleh media. Mereka menduga ada orang-orang yang lebih resisten terhadap prioritas politik media. Kedua ahli ini kemudian memunculkan uses and gratification approach (pendekatan kegunaan dan kepuasan) yang menggagaskan bahwa penonton bersifat selektif pada acara televisi yang mereka tonton. Mereka menyimpulkan bahwa orang membiarkan media membentuk cara berpikir mereka jika mereka memiliki need for orientation (kebutuhan akan pegenalan) atau index of curiosity (indeks penasaran). Need for orientation tumbuh dari relevance (hal-hal yang kita anggap penting dan menarik atau kesesuaian antara aspek apa yang diangkat dengan keinginan kita) dan uncertainty (ketidakpastian) yang tinggi.

Framing: Transferring The Salience of Attributes
Mantra agenda-setting adalah ‘the media aren’t very successful in telling us what to think, but they are stunningly successful in telling us what to think about’. Artinya media membuat suatu isu menjadi more salient (semakin menonjol). Bagaimana membuat khalayak makin ingin tahu berita itu dan makin menganggapnya penting. Namun setelah itu, McCombs berkata bahwa media melakukan lebih daripada itu. Media mempengaruhi cara berpikir kita. Ia menyebut proses ini, framing.
James Tankard mendefinisikan media frame sebagai ‘pusat ide yang mengorganisasikan isi news yang mensuplai konten dan menggagaskan sebuah isu agar melalui selection (penyeleksian), emphasis (penekanan), exclusion (pegeluaran), dan elaboration (perluasan)’. Keempat istilah ini menggagas bahwa media tidak hanya menyusun agenda untuk isu, acara, atau kandidat mana yang paling penting, tetapi juga mentransfer hal-hal menonjol (salience) dari specific attributes yang dimiliki objek potensial kepentingan.
Menurut Robert Entman, konsep framing dijelaskan sebagai: ‘the frame adalah memilih beberapa aspek tentang realita yang dirasakan dan membuatnya lebih menonjol dalam teks komunikasi, dengan cara mempromosikan sebuah definisi masalah yang khusus, interpretasi kausal (causal interpretation), evaluasi moral dan atau rekomendasi perlakuan terhadap berita yang dibahas.

Not Just What to Think About, but How to Think About It
Framing bukan pilihan. Media selalu mencari bahan yang mereka anggap newsworthy (bernilai berita). Ketika mereka menemukan itu, mereka melakukan lebih dari sekadar menentukan what to think about. McCombs dan Shaw mendeskripsikan agenda-setting sebagai hal yang jauh lebih kuat daripada fungsi media: ‘The media may not tell us what to think about, they also may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it’.

Beyond Opinion─The Behavioral Effect of Media’s Agenda
Sebagian besar dari 350 studi empiris tentang agenda setting mengukur efek agenda-agenda media pada public opinion. Namun sedikit yang mempertanyakan penemuan yang menggagas bahwa media priorities juga mempengaruhi people’s behavior. Beberapa peristiwa membuktikan gagasan itu. Shaw dan McCombs juga menyatakan tentang fungsi penting media, yaitu agenda-melding (agenda keanggotaan). Seringkali media memuat tulisan mengenai suatu komunitas atau kelompok. Orang-orang cenderung berkelompok. Lewat tulisan di media itu, orang-orang tahu akan keberadaan komunitas tertentu. Mereka bergabung dengan komunitas itu. Dampak negatif yang ditimbulkan adalah, orang-orang jadi lebih suka berkumpul di komunitas itu daripada bergaul dengan tetangga mereka.

Kritik: Apakah Efeknya Terlalu Terbatas, Ruang Lingkupnya Terlalu Luas?
Beberapa kritik yang dilancarkan pada teori ini adalah:
 Popularitas framing sebagai interpretative construct dalam studi media telah menghasilkan makna yang ambigu dan berbeda-beda.
 Jika penelitian media-setting menjadi sangat luas (all-inclusive) sehingga setiap pernyataan yang berhubungan dengan media disebut sebagai media frame, teori ini bisa kehilangan fokus dan kekuatan.

Cultivation Theory (George Gerbner)

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

George Gerbner menyatakan bahwa penggemar berat televisi (TV) sebenarnya membangun kepercayaan yang terlalu berlebihan pada a mean and scary world. Kekerasan yang mereka lihat di TV dapat menanamkan sebuah social paranoia yang berlawanan dengan pemikiran tentang lingkungan yang aman dan keberadaan orang-orang yang dapat dipercaya. Gerbner melihat TV sebagai kekuatan dominan dalam membentuk masyarakat modern. Dan ia yakin bahwa kekuatan TV terletak pada symbolic content dari real-life drama yang ditampilkannya setiap saat. Setelah broadcast berkembang, TV mendominasi lingkungan symbols, yang menceritakan sebagian besar cerita pada masyarakat dengan durasi waktu terbanyak.

Menurut Gerbner, yang disaksikan penonton TV setiap harinya adalah unsur kekerasan (violence). Ia menyatakan bahwa kekerasan adalah cara dramatic termudah dan termurah untuk menunjukkan siapa yang menang dalam permainan hidup. Dan ia sangat khawatir pada dampak yang lebih luas dan secara potensial, dapat merugikan, yaitu bahwa kekerasan TV meyakinkan penonton bahwa benar-benar ada “a jungle out there ” (rasa tidak aman yang besar).

Intinya, Gerbner membahas hubungan antara media komunikasi dengan kekerasan.

Indeks Kekerasan
Untuk mengukur tingkat kekerasan yang ditampilkan TV, Gerbner menggariskan aturan-aturan sebagai tuntunan pelaksanaannya. Yang pertama, ia menetapkan definisi dramatic violence sebagai ‘ekspresi yang merupakan tindakan dengan maksud buruk lewat kekuatan fisik (dengan atau tanpa senjata, melawan diri sendiri atau orang lain) tindakan memaksa untuk melawan keinginan orang lain dengan menimbulkan rasa sakit dan atau terbunuh atau diperlakukan sangat victimized sebagai bagian dari rencana’. Setelah itu, ia mengukur level kekerasan secara keseluruhan. Hasilnya, indeks tahunan yang ditemukan tentang level kekerasan, sungguh stabil.

Kekerasan yang Sama; Resiko yang Berbeda
Dari sekian banyak acara TV yang menampilkan gambaran kekerasan, karakter-karakter kepahlawanan kebanyakan menampilkan inequality yang besar terhadap usia, ras, dan gender pada saat menerima kekerasan terakhir. Orangtua dan anak-anak lebih banyak disakiti atau dirugikan daripada remaja dan orang dewasa. Dalam kasus ‘victimage’, keturunan Afrika-Amerika dan Hispanic dibunuh atau dipukuli lebih banyak daripada keturunan Caucasian. Orang kulit hitam digambarkan sebagai orang yang kasar dan cenderung menggunakan kekerasan. Sangat mengejutkan ketika TV menampilkan underrepresentation akan kelompok minoritas.
Kesimpulannya, proyek Cultural Indicator yang dibuat Gerbner mengungkapkan bahwa orang-orang yang terpinggirkan dalam masyarakat Amerika diposisikan dalam a symbolic double jeopardy (bahaya simbolik ganda). Keberadaan mereka dikecilkan, dan di saat yang sama, kerawanan mereka terhadap kekerasan, dilebih-lebihkan.

Membangun Profil Viewer
Gerbner melakukan survey tentang behavior dan attitudes penonton TV. Ada dua kategori pemirsa TV menurutnya, yaitu penonton yang “light” dan “heavy”. Light user adalah penonton yang menonton TV tak lebih dari 2 jam sehari. Light user selektif dalam memilih acara TV yang mereka tonton. Serignkali hanya acara favoritnya saja. Sedangkan heavy user adalah penonton yang menonton TV minimal 4 jam sehari dan menonton TV secara terus-menerus. Menurut Gerbner, heavy user melihat dunia lebih berbahaya daripada occasional atau light user.

Pikiran yang Dibajak atau Dibentuk oleh Televisi Menumbuhkan Fearful Thoughts
Karena Gerbner percaya bahwa kekerasan adalah tulang punggung dari drama TV, dan karena setiap orang memiliki durasi waktu yang berbeda dalam menonton TV, Gerbner mencoba menemukan the cultivation differential. Yaitu perbedaan dalam persentase memberikan “television answer” dalam perbandingan kelompok light dan heavy viewers. Menurut Gerbner, TV telah masuk dalam kehidupan manusia ketika dalam usia yang sangat dini. Ia melihat 4 hal dalam surveynya, yaitu:

Chances of involvement with violence. Heavy user diprediksikan terlibat dalam violence lebih sering daripada light user. prediksi ini bergantung pada keinginan yang hebat dari para heavy user untuk membenarkan agresi fisik. Kenyataannya, anak-anak yang sering menonton TV setuju bahwa kita boleh memukul orang lain jika kita marah terhadap mereka dengan alasan yang bagus.
Fear of walking alone at night. Heavy users cenderung melebih-lebihkan (overestimate) aktivitas kriminal, dan percaya bahwa aktivitas kriminal ini sepuluh kali lebih buruk daripada yang sebenarnya terjadi.
Perceived activity of police. Heavy viewers percaya bahwa 5 persen masyarakat terlibat dalam law enforcement.
General mistrust of people. Heavy viewers mencurigai motif-motif tindakan orang lain. mereka akan berkata, ‘lakukan suatu hal terhadap orang lain sebelum mereka melakukan hal itu terhadapmu’. Mereka hidup dalam kecurigaan dan tidak pernah bisa mempercayai orang lain.

Mainstreaming
Mainstreaming digunakan Gerbner untuk menggambarkan proses ‘mengaburkan, mencampur, dan membelokkan’, yang dialami heavy viewers. TV membangun a commonality of outlook. TV menghomogenisasi penontonnya supaya heavy viewers memiliki kesamaan orientasi, perspektif, dan makna satu sama lain. Menurut Gerbener, television answer adalah the mainstream.

TV mengaburkan perbedaan politik dan ekonomi. Misalnya, presiden SBY ketika dulu berkampanye lewat AFI Indosiar, penonton melihat itu sebagai hiburan dan kepentingan ekonomi Indosiar. Padahal itu adalah kampanye politik utnuk memperebutkan kekuasaan.
Heavy viewers menganggap dirinya sebagai politikus moderat. Sebagian besar tokoh dalam drama TV tidak menyukai aliran ekstrim, kanan maupun kiri. Namun perilaku mereka, menurut Cultural Indicator, adalah konservatif. Maka the mainstream bukanlah middle of the road.

Resonance
Gerbner juga menjelaskan mengenai ketakutan yang besar dalam diri viewers dengan proses resonance. Banyak viewers pernah mengalami tindak kekerasan dalam hidup mereka. TV dapat menyebabkan viewers mengingat kembali peristiwa itu lewat tayangan berulang-ulang yang merupakan gambaran symbolic atas peritiwa itu. Heavy viewers harus mengalami kekerasan fisik yang sama dengan dosis ganda.

Kritik: Apa The Cultivation Differential Itu Nyata, Luas, Krusial?
Kritik mendasar terhadap teori Gerbner adalah:
 Definisi violence-nya menuai banyak kritik dari segi program yang dipilihnya untuk analisis isi, keputusannya untuk mengumpulkan bersama semua tipe program dramatic (action, opera sabun, sitcom, dsb), asumsinya bahwa selalu ada television answer yang konsisten, caranya memilih responden yang tidak random, standar pengukuran light dan heavy viewers hanya berdasarkan perhitungan waktu per hari yang sederhana, metode statistiknya dalam menganalisis data, interpretasinya pada data korelatif , dsb.

Cultural Studies (Stuart Hall): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Hall adalah ahli komunikasi yang mengkaji fenomena komunikasi berdasarkan pendekatan critical. Hal utama yang dinyatakannya adalah keraguannya atas kemamapuan para ahli komunikasi untuk menjawab fenomena pengaruh media. Ia menolak bahasan dalam penelitian yang menginterpretasikan segala bentuk symbol, bahasa, makna, dan arti, secara dangkal dan sederhana. Terpengaruh oleh teori Marx, Hall bertujuan untuk memberi kekuatan bagi orang-orang yang dimarginalisasikan, dan tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan kepentingan mereka.

Media sebagai Ideological Tools yang Kuat
Hall percaya fungsi media massa adalah untuk mempertahankan dominasi yang telah ada dan memiliki kekuatan. Ia curiga dan menentang karya empiris yang tidak mampu menganalisis ide-ide atau pemikiran apa saja yang terkandung di dalam media. Para peneliti noncritical menghadirkan karya mereka sebagai sains murni dan tidak mengandung suatu anggapan tertentu. Padahal setiap teori media, pada hakikatnya, mengandung isi dan maksud ideologis.

Hall melihat dalam mainstream penelitian komunikasi massa di Amerika Serikat bahwa media menyajikan sebuah myth of democratic pluralism. Yaitu kepura-puraan bahwa masyarakat bersatu dalam common norms, kesempatan yang setara, penghormatan terhadap perbedaan, kesamaan hak bersuara, hak-hak individual, dan penegakan hukum. Hall menyatakan bahwa segala repetisi yang bersih yang disebut informasi, tidak mungkin melenyapkan karakter kotor, semiotic, semantic, dan discursive yang sifatnya fundamental media tersebut dalam dimensi budayanya.

Hall memakai istilah articulate untuk menyatakan speaking out tentang penindasan dan linking─menghubungkan bahwa penaklukan yang dilakukan oleh media komunikasi dapat terjadi karena media bergerak di bidang di mana makna dibentuk.

Awal Cultural Critics
Cultural studies adalah suatu pergerakan yang kompleks. Untuk memahami teori Hall, kita harus mengerti akarnya terlebih dahulu. Pada akhir Perang Dunia II, karena revolusi atau pemberontakan yang dilakukan kaum Proletar, Marx memprediksi bahwa akan terbentuk suatu masyarakat tanpa kelas dan dominansi ekonomi kaum kapitalis akan berkurang. Nyatanya, kedua prediksi tersebut tidak pernah benar-benar terjadi. Mengapa?

Para teorist dari Frankfurt School berargumentasi bahwa kalangan kelas pekerja tidak memberotak karena para korporasi media secara efektif menyesuaikan pesan yang mereka sampaikan pada khalayak dengan hal yang mendukung sistem kapitalis. Berita maupun hiburan yang ditampilkan media, menghadirkan gambaran dunia di mana kapitalisme adalah suratu hal yang alami, abadi, dan tak bisa diubah. Ini adalah suatu proses produksi culture (budaya) yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki pengaruh di bidang ideologi dan politik─culture industries. Hall menyebut peran cultural media sebagai suatu hegemony. Meski media memiliki beragam ide, tetapi media cenderung mempertahankan status quo. Hasilnya, peran media massa adalah production of consent bukan a reflection of consensus.

Roland Barthes menawarkan analisis semiotic untuk menjelaskan apa yang ditampilkan media itu. Namun semiotic tidak memberikan cukup penjelasan mengapa suatu makna dihubungkan dengan simbol-simbol tertentu dalam kurun waktu historis tertentu.
Michel Foucault berpendapat bahwa Marxists dan semiologists tidak memperhatikan hubungan antara kekuatan societal dengan komunikasi. Ia yakin bahwa adalah salah memisahkan signs dan symbols dengan pesan media massa. Orang membutuhkan suatu framework of interpretation untuk membuat sesuatu masuk akal. Framework itu terbentuk dari wacana dominan yang berlaku saat itu.

Membuat Makna
Dalam bukunya Representation, Hall menyatakan bahwa fungsi utama dari wacana (discourse) adalah untuk membuat makna. Kebanyakan mahasiswa komunikasi setuju bahwa kata-kata tidak memiliki makna intrinsik, “Words don’t mean; people mean”. Namun Hall kembali bertanya, “Where do people get their meanings?” ia menjawab bahwa orang belajar tentang makna signs melalui komunikasi dan budaya. Sepanjang sejarah, tidak semua orang memiliki suara yang setara dengan orang lain. Kenyataannya, ada pihak-pihak yang memiliki kekuatan yang lebih besar daripada orang lain sehingga memiliki pengaruh yang lebih besar pula pada orang lain. Pihak-pihak yang memiliki power, secara “sewenang-wenang”, menetapkan suatu garis pemisah antara yang normal dan yang abnormal. Dan pembedaan ini telah menjadi sebuah discursive formation (bentuk yang saling berhubungan atau terus-menerus) serta berdampak pada kelompok yang dianggap berada di bawah pengaruh ini.

Kontrol Korporat terhadap Komunikasi Massa
Hall berusaha mengalihkan studi komunikasi dari segala daerah pembagian dalam organisasi isi: pembangunan hubungan, pengaruh, efek media, gender dan komunikasi, dsb. Ia percaya bahwa kita harus mempelajari the unifying atmosphere di mana semua organisasi isi tadi terjadi dan dari mana semua itu berasal─yaitu budaya manusia. Ia juga menyatakan bahwa perlu mempelajari hubungan kekuatan dengan struktur sosial. Bagi Hall, melepaskan studi komunikasi dari konteks budaya di mana suatu fenomena berada dan mengabaikan realitas ketidaksetaraan ditribusi kekuatan dalam masyarakat, telah melemahkan bidang studi ini dan membuatnya semakin tidak relevan secara teoretis. Menurutnya, kaum superior membuat perbedaan dalam masyarakat dengan mengontrol sumber-sumber informasi yang berpengaruh agar begitu banyak cerita tentang kebenaran, tidak pernah bisa diungkapkan. Meskipun cerita-cerita itu diungkapkan, cara pengungkapan itu akan dibuat sedemikian rupa hingga tidak bertentangan dengan korporasi multinasional yang dominan. Isu utama dalam cultural studies bukan informasi apa-what yang dihadirkan, tetapi informasi siapa-whose itu.

Peran Media saat Perang Teluk
Apa yang diberitakan media massa selama Perang Teluk, menurut Hall, adalah proses pembentukan wacana di mana pesan yang disampaikan disandikan (encoded) melalui media, kemudian diuraikan (decoded), diterima (internalized), dan dilakukan (acted) oleh khalayak. Sementara ide-ide atau wacana lainnya tidak pernah ditampilkan. Hall menyebut proses ini, hegemonic encoding.

Segala yang diberitakan media adalah mengenai kehebatan senjata Amerika. Yang dilakukan media membentuk (frame) dalam masyarakat tentang making the war. Masyarakat lantas lupa pada morality tentang mencegah perang dan mempertahankan kedamaian karena media membentuk pola pikir masyarakat seolah tidak ada alternatif solusi selain perang. Hall menyebut proses media ini sebagai ideological discourses of constraint (wacana-wacana ideologis pembatas). Efek praktisnya adalah membatasi range alternatif dan membuat pilihan lain itu adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan.

Khalayak yang Keras Kepala
Hall menyebut kemungkinan the powerless dapat melawan dengan kebal terhadap ideologi dominan dan menerjemahkan pesan melaui cara yang lebih sesuai dengan kepentingan mereka. Ia menawarkan 3 pilihan decoding, yaitu:
1. Operating inside the dominant code. Media memproduksi pesan, khalayak mengkonsumsinya. Khalayak hendaknya membaca pesan serupa dengan bacaan yang lebih disukai (preferred reading).
2. Applying a negotiable code. Khalayak menerima ideologi inti secara umum, tetapi menentangnya pada aplikasi di kasus-kasus spesifik.
3. Substituting an oppositional code. Khalayak melihat melalui bias pembangunan dalam presentasi media dan menyusun usaha yang terorganisasi untuk mendemitologikan (tidak lagi mendewakan atau menyanjung) berita.

Kritik: Bagaimana Kita Tahu Bahwa Seseorang Benar?
Ada beberapa kritik yang ditujukan oleh para ahli komunikasi pada teori Hall, yaitu:
 Seringkali terjadi perbedaan pandangan antara satu ahli dengan ahli lain, pihak yang satu dengan pihak yang lain mengenai suatu kebenaran. Jika kedua pendangan dari masing-masing pihak dipublikasikan di media, bagaimana kita tahu mana yang benar dan mana yang salah? Sementara kedua argumentasi itu berdasarkan riset atau alasan yang logis.
 Apakah analisis budaya Hall ini mampu menganalisis studi kultural atau teori-teori kritikal lain? Tanpa standar kebenaran, rasanya tidak mungkin bisa mengevaluasi kualitas media criticism. Akibatnya, analisis kulturalnya hanya sebuah tindakan kesetiaan atas preferensi pribadi.
Namun lepas dari itu, kontibusi terbesar Hall pada studi komunikasi massa adalah teorinya mengingatkan bahwa akan sia-sia jika kita berbicara tentang meaning (makna), tanpa peduli pada keberadaan power.

Dramatism (Kenneth Burke): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Kenneth Burke adalah seorang kritikus. Ia percaya bahwa bahasa adalah suatu respon strategis manusia terhadap suatu situasi tertentu yang dihadapinya. Seorang kritikus bertugas untuk mengungkapkan motif atau alasan speaker menggunakan kata-kata dan gaya tertentu dalam pidatonya. Ia melakukan itu melalui─ia menyebutnya “motivational jungle” manusia─mengunakan berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, literatur, psikologi, ekonomi, linguistik, sosiologi, dan komunikasi.

Ia mencoba menggambarkan apa yang ia temukan sedang terjadi ketika orang berbicara, dan menyebut pendeskripsian ini dengan istilah dramatism. Burke berpandangan bahwa kehidupan bukan seperti drama; kehidupan adalah drama.

Identification: Tanpanya, Tidak Ada Persuasi

Menurut Burke, persuasi dapat terjadi jika speaker memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi khalayaknya. Identifikasi adalah common ground yang ada antara speaker dengan khalayak. Burke menggunakan istilah substance yang meliputi ciri fisik, bakat, keahlian, latar belakang, kepribadian, kepercayaan, dan nilai yang dimiliki seseorang. Jika overlap yang terjadi substance speaker dan khalayak semakin sering, semakin besar pula identification. Para ahli behavioralis menyebut persamaan yang jelas ini dengan istilah homophily. Bagi Burke, persamaan itu lebih baik dieksplisitkan melalui penggunaan bahasa religius daripada scientific jargon. Menurutnya, identification adalah cosubstantiation.

Khalayak tertarik pada cara berpidato dan juga isi pidato. Seorang komunikator yang efektif adalah ia yang mampu menunjukkan cosubstantiation kepada khalayak lewat kata-kata yang diucapkannya tentang persamaan di antara mereka. Jika kita mengingatkan tentang perbedaan antar manusia, mereka akan merasa terpisah dengan orang lain, dan persatuan apalagi gerakan akan sulit terjadi. Tanpa identification, tidak ada persuasi.

The Dramatistic Pentad
Persuasi adalah usaha speaker untuk membuat khalayak menerima ide dan caranya melihat suatu realitas. Dramatistic Pentad adalah alat menganalisis bagaimana speaker melakukan itu. Burke memusatkan perhatian pada 5 elemen yang krusial dalam human drama, yaitu:

act scene agent agency purpose
response situation subject stimulus target

Act─bagi kritikus, ini menunjukkan apa yang telah dilakukan speaker. Maksudnya, kata-kata macam apa yang digunakan speaker untuk mendemonstrasikan sikapnya terhadap realisme.
Scene─memberikan konteks mengenai kapandan di mana, act dilakukan.
Agent─yang melakukan act. Bisa saja mempengaruhi khalayak dengan menunjukkan nilai, semangat, pemikiran dan tanggung jawab pribadi speaker.
Agency─instrumen yang digunakan speaker dalam berpidato. Metode atau teknik yang mampu menunjukkan pemikiran speaker.
Purpose─tujuan speaker yang diungkapkan atau yang tidak mengenai tujuan yang hendak dicapai.

Dengan mengevaluasi rasio kepentingan antara individual pairs (scene-agency, agent-act), kritik dapat menemukan elemen mana yang menunjukkan clue terbaik untuk mengungkapkan motivasi speaker.

Burke menaruh perhatian besar pada pilihan kata yang digunakan speaker. Ia merekomendasikan suatu analisis konteks yang didapat dari memperhatikan frekuensi dan intensitas pemakaian kata-kata. Ia menyebut istilah god term, yaitu kata yang menunjukkan bahwa segala hal positif atau kebaikan, tekandung di dalamnya. Kata yang baik menurut speaker dan didemonstrasikannya pada khalayak. Lawannya adalah devil term yang menurut speaker adalah jahat, buruk, dan salah. Kedua term ini, menurut Burke tidak dapat lantas dipahami maknanya dengan merujuk pada kamus, tetapi dengan memperhatikan dan memahami konteks di mana kata-kata itu digunakan dalam pidato.

Guilt-Redemption Cycle: Akar Semua Rhetoric
Tujuan yang diharapkan segera terjadi dari sebuah pidato sangat bervariasi, bergantung pada scene atau agent. Namun Burke yakin, bahwa motivasi terakhir dari semua public speaking adalah untuk membersihkan diri kita dari guilt yang pernah kita alami. Guilt meliputi segala rasa tertekan, dari kemarahan, malu, jijik, dan segala perasaan yang berbahaya yang menurutnya, pada hakikatnya, ada dalam diri manusia.

Public speaking yang efektif adalah yang mengingatkan khalayak pada guilt mereka di masa lalu. Speaker meyakinkan khalayak bahwa ada sesuatu yang salah dan harus diubah yang menimbulkan guilt dalam diri khalayak.

Burke menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang perfeksionis. Manusia ingin segala sesuatunya berjalan sesuai dengan kemauannya. Dalam diri khalayak yang merasakan guilt ini, akan ada perspective of incongruity, yaitu suatu ketidaksesuaian yang terjadi atau hal yang tidak seharusnya terjadi. Incongruity adalah ketidaksempurnaan. Ini tentu menggelitik sikap perfeksionis manusia. Untuk menghilangkan perasaan ketidaksempurnaan ini, manusia berpikir bahwa harus ada pihak yang disalahkan atas incongruity ini. Karenanya, Burke menganggap rhetoric adalah pencarian khalayak akan kambing hitam (scapegoat) yang sempurna.

Redemption melalui Victimage

Untuk menghilangkan guilt, menurut Burke, speaker punya 2 pilihan. Yang pertama adalah denagn self-blame (menyalahkan diri sendiri). Dalam agama disebut mortification, yaitu suatu pengakuan dosa dan permohonan ampun. Hal ini sangat sulit dilakukan, tentu saja. Akan lebih mudah untuk mencari scapegoat, pihak yang bisa disalahkan atas masalah yang ada. Ini disebut victimage, yaitu mendesain musuh eksternal sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap semua keburukan yang terjadi.
Contoh public speaking yang memakai teori ini adalah pidato yang disampaikan Malcolm X yang berjudul “The Ballot or The Bullet”.

Kritik: Mengevaluasi Analisis dari Kritik
Beberapa kritik yang diungkapkan para ahli tentang teori Burke adalah sebagai berikut:
 Teori Burke ini sangat terkait dengan symbolic interactionism. Sedangkan teori itu sendiri memiliki kompleksitas di banyak bahasannya.
 Kecurigaan juga muncul karena kecenderungan Burke untuk memenuhi teorinya dengan segala tulisan yang berkaitan dengan perumpamaan (kiasan).
 Di antara semua motivastional principle Burke, redemption mengundang banyak kontroversi. Mungkin karena ‘secular religion’-nya yang sangat relijius bagi yang tidak percaya agama, tetapi tidak cukup relijius bagi yang percaya agama.

The Rhetoric (Aristotle): Sebuah Review

Pada masa Yunani Kuno, Kaum Sophist terkenal dengan ajaran berpidatonya yang mampu menginspirasi banyak pengacara dan politikus dalam berpartisipasi di pengadilan dan dewan pertimbangan. Namun Plato menyatakan sindiran atas ajaran Sophist yang tidak teoretis ini. Yang dimaksud dengan tidak teoretis adalah ajaran oratoris Kaum Sophist yang penuh tipu muslihat. Kita dapat melihat kenyataan itu sekarang dalam term negative ‘mere rhetoric’ yang dipakai untuk menyebut pidato pengacara yang tricky, janji-janji politikus, pidato pastur-pastur yang menyentuh hati, maupun cara bicara cepat para sales.

Aristotle setuju dengan ini. Ia menyesalkan penghasutan rakyat yang dilakukan para orator untuk menggerakkan pendengar dengan mengabaikan kebenaran. Namun, berbeda dengan Plato, ia melihat bahwa rhetoric sebagai alat, adalah cara alami agar para orator dapat meraih kemuliaan dan kemenangan meski dengan sedikit kecurangan.
Menurutnya, kebenaran memiliki superioritas moral yang membuatnya lebih dapat diterima daripada kebohongan. Namun hal-hal yang berlawanan dengan kebenaran dapat membodohi jika speaker yang beretika tidak menggunakan cara-cara persuasi yang ada untuk meng-counter kesalahan di dalamnya. Speaker yang mengabaikan seni retorika hanya akan menempatkan diri mereka di pihak yang salah ketika pendengar menganggap hal yang diucapkan speaker sebagai sebuah kebohongan. Kesuksesan membutuhkan kebijaksanaan dan kepandaian berpidato.

Pelatihan Sophist tentang retorika memang sangat praktis, tetapi tidak disusun secara teliti. Sebaliknya, Aristotle mengangkat rhetoric sebagai ilmu dengan mengeksplorasi secara sistematis efek speaker, the speech, dan the audience. Ia menyebut penggunaan pengetahuan ini oleh speaker sebagai sebuah seni.

Rhetoric: Membuat Persuasi menjadi Mungkin
Aristotle melihat fungsi rhetoric sebagai penemuan dalam setiap kasus tentang cara yang ada dalam persuasi. Menurutnya, ada 3 klasifikasi situasi pidato berdasarkan hakikat khalayak, yaitu:

Courtroom (forensic) speaking, digunakan oleh para juri yang berusaha memutuskan fakta apakah seseorang bersalah atau tidak.
Political (deliberative) speaking, usaha untuk mempengaruhi legislatif atau pemilih yang dapat mempengaruhi kebijakan di masa depan.
Ceremonial (epideictic) speaking, menghimpun pujian atau kesalahan pada pihak lain untuk kebaikan penonton.
Aristotle mengklasifikasikan rhetoric sebagai lawan dari dialectic.

Dialectic Rhetoric
Dikusi timbal balik (Dialectic): Seseorang menyampaikan benyak hal (searah)(Rhetoric)

Pencarian kebenaran: Mendemonstrasikan kebenaran yang telah ditemukan

Menjawab pertanyaan filosofis yang umum: Menyebutkan sesuatu yang spesifik dan praktis

Menguraikan kepastian: Menguraikan kemungkinan. Menurut Aristotle, rhetoric adalah seni menemukan cara untuk membuat suatu kebenaran telihat lebih mungkin atau masuk akal, bagi khalayak yang tidak sepenuhnya yakin akan kebenaran itu.

Rhetorical Proof: Logos, Ethos, Pathos
Menurut Aristotle, cara-cara yang tersedia pada persuasi berdasar pada tiga macam bukti, yaitu:
Logical (logos) : datang dari garis argumen dalam pidato.
Ethical (ethos) : cara karakter speaker terlihat melalui pesan.
Emotional (pathos) : perasaan yang digambarkan speaker yang muncul pada pendengar.

Ketiganya dibawa secara efektif dalam pidato Martin Luther King, Jr.’s, “I Have a Dream”.

Logical Proof: Garis-Garis Penjelasan yang Masuk Akal
Aristotle memfokuskan bahasannya pada dua bentuk logical proof, yaitu enthymeme dan example (contoh). Menurutnya, enthymeme sebagai yang paling kuat dari bukti-bukti. Sebuah enthymeme adalah versi tidak lengkap dari silogisme deduktif formal. Contoh yang terdapat dalam pidato King adalah:

Premis umum: All people are created equal
Premis khusus: I am a person
Kongklusi: I am equal to other people

Sifat dari enthymeme adalah memberikan premis yang telah diterima oleh khalayak. Dalam masalah gaya, enthymeme lebih artistik daripada argumen silogistik yang kaku atau resmi. Aristotle sendiri punya alasan mengapa ia lebih menganjurkan penggunaan pernyataan atau premis yang telah dipercaya oleh khalayak, lewat pernyataan, “Karena premis itu secara bersama-sama diproduksi oleh khalayak, enthymeme secara intuitif, menyatukan speaker dan khalayak dan menyediakan bukti kemungkinan yang paling kuat…. Khalayak sendiri membantu membangunnya ketika bukti itu disampaikan”.

Ethical Proof: Ketika Kredibilitas Sumber dapat Dirasakan dengan Jelas
Menurut Aristotle, pidato dengan argumen yang meyakinkan saja tidak cukup. Seorang speaker haruslah pula terlihat kredibel. Dalam rhetoric, ia mengidentifikasi 3 kualitas yang membangun kredibilitas sumber yang tinggi, yaitu:

Perceived Intelligence (kecerdasan yang dapat dilihat) ─ ada tumpang tindih (overlap) yang terjadi dalam penilaian kecerdasan speaker oleh khalayak. Tumpang tindih itu terjadi antara kepercayaan mereka dengan ide yang disampaikan speaker.
Virtuous Character (karakter yang berbudi luhur) ─karakter berhubungan dengan imej speaker sebagai orang yang baik dan jujur.
Goodwill (keinginan luhur) ─goodwill adalah penilaian positif atas maksud speaker terhadap khalayak. Menurut Aristotle, sangat mungkin seorang orator memiliki kecerdasan yang luar biasa dan karakter yang luhur, tetapi hal itu tetap tidak mampu menjangkau ketertarikan terbesar dalam hati khalayak. Karenanya, perlu ada sebuah goodwill bagi khalayak sehingga mampu menyentuh hati dan menggerakkan mereka.

Emotional Proof: Menyerang Perasaan yang Responsif
Aristole mengerti bahwa public rhetoric, apabila dipraktikkan secara etis, dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, ia menyusun teori lanjutan dari pathos. Ia menawarkan ini tidak untuk mengambil manfaat dari emosi khalayak yang destruktif, tetapi sebagai ukuran korektif yang bisa menolong tuntutan emosional keahlian speaker yang menginspirasi decision making untuk umum yang beralasan. Untuk itu, ia membuat daftar seperangkat perasaan yang berlawanan, menjelaskan dalam kondisi seperti apa perasaan-perasaan itu dialami seseorang, kemudian menggambarkan bagaimana speaker dapat membuat khalayak merasa seperti itu.

Anger (versus mildness)─kemarahan vs kelembutan
Diskusi Aristotle mengenai anger, adalah versi awal dari hipotesis frustration-aggression dari Freud. Orang akan marah jika mereka dihalangi dalam usaha memenuhi kebutuhan mereka. Mereka akanmarah jika didingatkan akan kelalaian interpersonal. Jika si penghalang menyesal, pantas menerima pujian, atau memiliki kekuasaan, maka khalayak akan tenang.

Love or friendship (versus hatred)─cinta atau persahabatan vs rasa benci
Seiring dengan penelitian masa kini tentang ketertarikan, Aristotle menganggap persamaan (similarity) sebagai kunci kehangatan satu sama lain. Speaker haruslah menunjukkan tujuan, pengalaman, perilaku, dan semangat mereka. Ketika tidak ada persamaan antara speaker dengan khalayak, musuh bersama dapat digunakan untuk menciptakan solidaritas.

Fear (versus confidence)─ketakutan vs kepercayaan
Rasa takut muncul dari imej mental tentang malapetaka yang potensial. Seorang speaker haruis mampu menggambarkan gambaran kata-kata yang nyata tentang tragedi itu, untuk menunjukkan bahwa hal itu mungkin terjadi. Kepercayaan dapat dibangun dengan mendeskripsikan bahaya adalah hal yang jauh dan memiliki kemungkinan kecil untuk terjadi.

Shame (versus shamelessness)─rasa malu vs tanpa rasa malu
Kita merasa malu atau bersalah ketika kekalahan berasal dari kelemahan dan sifat buruk kita. Emosi kita akan besar ketika speaker mengatakan kegagalan dan keburukan kita di hadapan keluarga, teman, atau orang-orang yang kita kagumi.

Indignation (versus pity)─kejengkelan vs berbelas kasih
Kita semua punya rasa keadilan. Mudah menggerakkan rasa ketidakadilan dengan menggambarkan kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan atas orang-orang yang tidak berdaya.

Admiration (versus envy)─kekaguman vs kecemburuan
Orang menyukai sifat yang baik, kekuasaan, kesejahteraan, dan keindahan. Dengan menunjukkan bahwa seseorang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kerja keras, bukannya keberuntungan, kekaguman akan meningkat.

The Five Canons of Rhetoric
Para ahli dan praktisi rhetoric mensintesis kata-kata Aristotle ke dalam 4 standar untuk mengukur kualitas seorang speaker, yaitu:

Invention→untuk menghasilkan enthymeme dan contoh yang efektif, speaker harus memiliki pengetahuan yang detil dan lengkap tentang hal yang ia sampaikan serta mampu menyampaikan pidatonya dengan alasan dan alur berpikir yang masuk akal. Di dalam pikiran kita, ada kotak penyimpanan yang berisi kebijaksanaan atau berbagai informasi yang pernah kita dapatkan. Aristotle menyebut simpanan argumen ini sebagai topoi (topik atau tempat). Speaker harus mampu menggunakan simpanan ini dalam berpidato.

Arrangement→menurut Aristotle, speaker harus menghindari rencana yang rumit dalam organisasi pesan yang hendak ia sampaikan pada khalayak. Tugas seorang speaker adalah mempertahankan pokok bahasan dan mendemonstrasikannnya. Pembukaan harus mampu menarik perhatian khalayak, membangun kredibilitas speaker, dan menjelaskan tujuan pidato. Sedangkan simpulan harus mengingatkan khalayak pada apa yang telah diucapkan speaker dan membuat kesan baik tentang dirinya dan ide yang dibawanya.

Style→Aristotle yakin bahwa kiasan memiliki kebaikan, rasa manis, dan kekuatan. Karenanya, kata-kata kiasan mampu meninggalkan kesan yang dalam bagi khalayak.

Memory→agar pidato yang disampaikan menjadi lebih hidup, alami, dan mampu bersatu dengan khalayak, seorang speaker harus bisa berpidato tanpa teks dan mengeksplorasi segala informasi yang ia simpan di dalam kepalanya yang berhubungan dengan pokok bahasan.

Delivery→khalayak tidak menyukai cara penyampaian yang monoton dan tampak direncanakan. Mereka lebih menyukai kealamian dalam cara penyampaian. Kealamian ini persuasif.http://www.blogger.com/img/blank.gif

Kritik
Ada beberapa kritik bagi teori Aristotle ini. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
 Para ahli bingung akan kegagalan Aristotle dalam mendefinisikan makna pasti enthymeme.
 Sistemnya yang membingungkan dalam mengklasifikasikan jenis-jenis kiasan (metaphor).
 Perbedaan yang kabur antara deliberative (political) dan epideictic (ceremonial speaking.
 Pada awal teori tentang Rhetoric, Aristotle berjanji untuk menjelaskan secara sistematis tentang logos, ethos, dan pathos. Pada kenyataannya, ia mengelompokkan bahasannya dalam urutan speech-audience-speaker.
 Beberapa kritikus masa kini mengkritik pandangan Rhetoric yang melihat khalyak (audience) sebagai pihak yang pasif.
 Beberapa ahli lain menganjurkan komponen keempat dalam rhetoric, yaitu the situation.

Critical Theory of Communication Approach to Organizations (Stanley Deetz): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition


Deetz telah membangun sebuah teori komunikasi kritis untuk mengeksplorasi cara-cara memastikan kesehatan keuangan perusahaan ketika keberagaman human interests (kepentingan), meningkat. Deetz memulainya dengan menunjukkan bahwa perusahaan telah menjadi bukan hanya institusi ekonomi tetapi juga politik. Ia menggunakan kemajuan dalam teori komunikasi untuk menemukan bagaimana praktik komunikasi dalam perusahaan dapat mempengaruhi pembuatan keputusan (decision making). Kemudian ia merangkum cara bagaimana perusahaan dapat menjadi lebih produktif dan demokratis melalui perbaikan komunikasi.

Kolonisasi Perusahaan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Deetz memandang perusahaan-perusahaan multinasional―sebagai kekuatan dominan dalam masyarakat yang bahkan lebih kuat daripada nagara, atau keluarga dalam kemampuan mempengaruhi kehidupan individu. Ia meliahat bahwa laporan kontinyu dari Dow-Jones Industrial Average yang menekanakan pada ketiadaan indeks yang sama pada kesenian, healt care, atau kualitas lingkungan.

Ruang para eksekutif perusahaan menjadi tempat di mana hamper semua keputusan dibuat mengenai penggunaan sumber daya alam, pembangunan teknologi baru, ketersediaan produk, dan hubungan kerja. Menurut Deetz, perusahaan-perusahaan raksasa ini ‘control and colonize’ kehidupan modern dengan cara yang tidak pernah terpikirkan oleh pemerintah atau badan umum setelah era feodal berakhir. Namun kesalahan yang dibuat oleh kontrol perusahaan itu adalah bahwa terjadi penurunan kualitas hidup manusia pada sebagian besar warga.

Teori ini mengkritik asumsi sederhana bahwa ‘apa yang baik untuk General Motors baik pula bagi negara’. Lebih spesifik lagi, ia hendak menguji praktik komunikasi dalam organisasi yang meruntuhkan sepenuhnya representative decision making, yang kemudian mengurangi kualitas, inovasi, dan keadilan dalam kebijakan perusahaan.

Informasi Versus Komunikasi: A Difference that Makes A Difference
Deetz memulai analisisnya dengan menantang pandangan bahwa komunikasi adalah proses transmisi informasi. Bahwa ada seruan intuitif yang menyatakan bahwa kata-kata mengacu pada hal sesungguhnya; bahwa dengan menggunakan kata-kata yang tepat, kita dapat mengekspresikan rasa. Menurut Deetz, publik benar-benar ingin mempercayai realitas yang independen. Ia mengingatkan, selama kita massih menerima gagasan bahwa komunikasi adalah proses transmisi informasi, kita akan terus menghidupkan dominansi perusahaan di setiap aspek dalam hidup kita.

Menurut Deetz, bahasa tidak merepresentasikan hal-hal yang ada. Kenyataannya, bahasa merupakan bagian produksi hal yang kita perlakukan sebagai kenyataan diri dan alami dalam masyarakat. Para humanis mengatakan makna ada dalam diri orang yang menggunakannya, bukan pada kata-kata. Namun Deetz terus mempertanyakan pendangan representative bahasa dengan pertanyaan, “maknanya siapa yang ada dalam diri orang?” Ketika kita menerima bahwa bentuk organisasi terus diciptakan dan kembali diciptakan melalui bahasa, kita akan mengerti bahwa perusahaan-perusahaan raksasa tidak hanya memproduksi produk indistri, mereka juga memperoduksi makna.

Deertz menganggap komunikasi sebagai social construction of meaning yang berlangsung terus-menerus. Namun teori kritiknya mengacu pada pemikiran bahwa kekuasaan bertahan melalui semua bahasa dan komunikasi. Menurutnya, isu fundamental dari analisisnya adalah kontrol dan bagaimana kelompok yang berbeda dilibatkan dalam decision making. Ia menambahkan, karena indutrialisasi, para manager di perusahaan Amerika mengerjakan tugasnya dengan filosofi kontrol.

Strategy (Strategi)―Peralihan Managerial yang Jelas Menuju Kontrol yang Luas
Deetz menjelaskan bahwa masalahnya tidak terletak pada managers. Masalahnya adalah managerialism. Deetz mendeskripsikan managerialism sebagai wacana berdasarkan sejenis logika sistematis, seperangkat kegiatan rutin, dan ideologi, di mana kontrol nilai berada di atas segalanya. Ketika para pemegang saham menginginkan keuntungan dan pekerja menginginkan kebebasan, management begitu mengharapkan kontrol.

Orang-orang dengan kepentingan seperti ini mengambil keputusan dengan alasan, “because I am the boss”, atau kata-kata sejenis itu. Yang mereka pikirkan adalah uang dan bagaimana cara mendapatkannya. Dan uang ini lantas digunakan untuk mengontrol, bukan untuk menghargai efisiensi dan keuntungan.

Consent (Persetujuan)―Menghendaki Kesetiaan untuk Menyembunyikan Kontrol
Deetz yakin bahwa perusahaan sangat tidak beralasan dalam usaha mereka memperoleh keuntungan karena mereka tidak hanya menginginkan a fair day work for a fair day’s pay; mereka juga menginginkan cinta, penghargaan, dan kesetiaan. Management menginginkan kesetiaan kepada perusahaan di atas kesetiaan terhjadap teman, agama, dan komunitas. Melalui proses yang disebut Deetz consent inilah sebagian besar karyawan memberikan kesetiaan tanpa mendapatkan pengembalian yang cukup. Menurut Deetz, consent adalah sesuatu yang digunakan untuk mendesain variasi situasi dan proses di mana seseorang secara aktif, meski mereka tidak tahu, meraih kepentingan orang lain, sementara ia menyangka sedang berusaha memenuhi kepentingannya. Seseorang terlibat dalam proses menjadikan dirinya sendiri, korban.
Setiap perusahaantelah merancang seperangkat praktik yang dibuat sendiri. Dan menurut Geetz, praktik organisasional lebih kuat ketika seseorang tidak pernah memikirkannya. Ini akan selalu diterima sebagai taken-for-granted. Dan tanpa pemahaman yang jelas bahwa komunikasi lebih pada memproduksi bukannya merefleksikan realitas, para karyawan akan tetap setia pada managerial yang selalu ingin memperluas ontrol perusahaan.

Involment (Keterlibatan)―Free Expression of Ideas, but No Voice
Siapapun, yagn berpindah dari kotak kiri ke kotak kanan, telah mengalami perpindahanyangkrusial. Dalam politik, seperti perpindahan dari otoriter ke demokrasi. Dari keputusan managerial yang dibuat secara rahasia, menjadi proses terbuka di mana semua orang punya kesempatan mengekspresikan opini mereka.

Dalam perpolitikan nasional atau perusahaan negara, demokrasi yang sejati membutuhkan orang-orang yang dipengaruhi oleh keputusan forum di mana mereka bisa mendiskusiakn isuny adan punya suara (a voice) sebagai hasil akhir. Forum menyediakan kesempatan utnuk keterlibatan―mengekspresikan ide. Namun menurut Deetz, suara bukanhanya mengatakan sesuatu. Artinya, mengekspresikan kepentingan secara bebas dan terbuka dan juga punya hak bahwa kepentingan itu dipresentasikan dalam keputusan. Orang tidak akan punya suara jika mereka beranggapan bahwa komunikasi adalah transmisi informasi.

Dan setelah melakukan survey terhadap beberpa perusahaan, Deetz berkesimpulan bahwa hak untuk berekspresi itu lebih penting daripada hak untuk diinformasikan. Namun kenyataannya, para karyawan ini tidak melihat bahwa ide mereka tercermin dalam keputusan yang diambil. Dari situ mereka mulai bertanya, ‘lantas untuk apa kebebasan berekspresi?’ Deetz sendiri melihatnya sebagai sesuatu yang tragis. Ia menyatakan: “Kombinasi antara keyakinan dalam realitas dan sinisme itu bencana bagi demokrasi. Keyakinan bahwa klaim adalah opini, digunakan justru untuk menghentikan diskusi, bukan memulainya.

Participation (Partisipasi) ―Demokrasi Pemegang Saham Beraksi
Geetz percaya bahwa keterbukaan di tempat kerja, tidak mustahil untuk ada. Ia yakin bahwa demokrasi sejati mampu menciptakan warga Negara yang lebih baik dengan pilihan sosial yang lebih baik dan menyediakan keuntungan ekonomi yang penting. Salah satu tujuan dari teorinya adalah menyatakan kemungkinan negoisasi terbuka kekuasaan. Ia menyebutnya stakeholder democracy. Geetz melihat, sedikitnya ada enam kelompok stakeholders dengan kebutuhan dan keinginan yang berbeda, yaitu:

investors―menginginkan keamanan prinsipil dan pengembalian yang layak atas investasi yang telah merek berikan,
workers―ingin upah yang layak, kondisi kerj ayang aman, kesempatan untuk dihargai dalam tugas, keamanan karyawan, dan waktu untuk keluarga mereka,
consumers―ingin produk yang berkualitas dan layanan dengan harga yang fair,
supplier―ingin permintaan yang stabil untuk sumber daya yang mereka sediakan dengan pembayaran sesuai pengantaran,
host communities―ingin pembayaran untuk layanan yang disediakan, karyawan yang stabil, perawatan lingkungan, dan peningkatan kualitas keluarga dan taraf hidup masyarakat,
greater society and the world community―ingin perawatan lingkungan stabilitas ekonomi, kehidupan publik secara keseluruhan, perlakuan yang adil bagi semua kelompok.

Menurut Geetz, penting untuk memberikan kesempatan bagi segala pihak yang dipengaruhi oleh keputusan yang diambil perusahaan ini, untuk berbicara dalam proses pembuatan keputusan. Ia terus mengingatkan bahwa perusahaan tidak terbentuk secara alami, kita yang membentuknya.