Saturday, July 3, 2010

Muted Group Theory (Cheris Kramarae): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Kramarae menyatakan bahwa bahasa (language) secara harfiah, adalah sebuah man-made construction. Ia menegaskan bahwa bahasa dari sebuah budaya khusus tidak melayani semua orang yang mengucapkannya secara sama, karena memang tidak semua speaker memberikan kontribusi yang sama dalam formulasinya. Wanita, dan anggota dari kelompok subordinat lain, tidaklah bebas atau bisa mengatakan apa, yang ingin mereka katakana, kapan, dan di mana, karena kata-kata dan norma-norma yang mereka gunakan telah diformulasikan oleh kelompok dominan, yaitu pria.

Menurut Kramarae, kata-kata wanita tidak dihargai dalam masyarakat kita. Pemikiran wanita mengalami hal yang sama. Ketika wanita mencoba meniadakan ketidakadilan ini, kontrol pria terhadap komunikasi menempatkan wanita dalam ketidakberdayaan. Man-made language membantu mendefinisikan, menjatuhkan, dan meniadakan wanita. Wanita adalah the muted group (kelompok yang dibungkam). Tipe dominansi pria pada bahasa hanyalah satu aspek saja dari berbagai cara untuk membungkam kepentingan wanita dalam masyarakat.

Muted Groups: Black Holes in Someone Else’s Universe
Ardener berasumsi bahwa ketidakpedulian terhadap pengalaman wanita merupakan masalah unik gender bagi social-anthropology. Ia kemudian sadar bahwa mutedness (kebisuan) disebabkan karena kekurangan kekuasaan (power). Orang-orang yang memiliki sedikit kekuatan tidak menyadari masalah bahasa yang mereka gunakan untuk mengungkapkan persepsi mereka.

Menurut Ardener, muted structures ada di dalamnya, tetapi tidak sadar dalam penggunaan bahasa yang diciptakan kelompok dominan. Sebagai hasilnya, mereka diabaikan, disia-siakan, dan tidak terlihat. Seperti black holes in someone else’s universe.

Namun Ardener mengingatkan bahwa muted group tidak selalu diam. Isunya adalah apakah orang dapat mengatakan hal yang ingin mereka katakan saat dan di tempat mereka ingin mengatakannya. Atau haruskah mereka me-re-encode pemikiran mereka untuk membuat mereka dimengerti oleh public dominan? Kramarae merasa yakin bahwa posisi kekuasaan dominan pria dalam masyarakat menjamin bahwa cara ekspresi publi tidaklah secara langsung tersedia bagi wanita.

Pada hakikatnya, Kramarae hanyalah salah seorang feminis yang ingin megungkapkan kebungkaman yang sistematik atas suara wanita (women voice). Para feminis memiliki agenda penelitian yang menganggap penting pengalaman wanita.

Kekuatan Maskulin untuk Menamai Pengalaman
Karamarae memulai bahasannya dengan asumsi bahwa wanita melihat kenyataan di sekitarnya dengan cara yang berbeda dengan pria karena keduanya mengalami pengalaman dan aktivitas yang berbeda berdasarkan pembagian kerja (division of labor). Ia yakin bahwa ketidaksesuaian kekuasaan antar jenis kelamin memastikan bahwa wanita memandang dunia dengan cara yang berbeda dengan pria. Seringkali pengalaman wanita ini harus diungkapkan kemudian disensor terlebih dahulu oleh pria. Padahal saling pengertian sebenarnya mampu terbentuk jika ada diskusi lebih lanjut mengenai hal itu. Namun, masalah yang dihadapi wanita adalah diskusi itu tidak pernah benar-benar terjadi di lapangan. Persepsi pria dominan karena dominansi politik mereka, yang kemudian mengekang kebebasan berekspresi wanita sebagai mode alternatif di dunia. Pemilik mode ekspresi di dunia adalah pria dan pria pula yang membingkai diskusi.
Menurut teori symbolic interactionism dari Mead, perluasan pengetahuaan adalah perluasaan penamaan (naming). Jika ini benar, maka siapapun yang punya kemampuan naming, ia akan memiliki kekuasaan yang luar biasa. Selanjutnya, menurut pendekatan socio-cultural, bahasa membentuk persepsi kita akan realitas. Maka, menurut Kramarae, pengabaian terus-menerus terhadap kata-kata, dapat membuat pengalaman itu menjadi unspoken, bahkan unthought. Akibatnya, lama-kelamaan, muted women akan meragukan validitas pengalaman dan legitimasi perasaan mereka.

Pria sebagai Gatekeepers Komunikasi
Meskipun public mode of expression memiliki begitu banyak kosakata untuk mendeskripsikan pengalaman feminin, wanita akan tetap di-muted ketika mode of expression mereka diabaikan. Dalam masyarakat terjadi pembangunan kultural tentang peran luar biasa pria dengan tidak mengakui atau mempublikasikan seni, puisi, skenario, public address, dan esay akademik wanita. Selama 500 tahun wanita dilarang membuka bisnis. Bahkan pengaruhnya dalam media cetak dibatasi hingga tahun 70-an. Kramarae menyebutnya malestream expression. Menurut Dorothy Smith, pria menganggap penting hanya pembicaraan yang diucapkan pria. Lingkaran pria yang menulis dan berbicara sangat penting bagi satu sama lain. Apa yang dilakukan pria hanya relevan bagi pria, ditulis oleh, tentang, dan untuk pria. Pria didengarkan dan mendengarkan satu sama lain.

Janji yang Tak Terpenuhi tentang Internet
Kita berasumsi bahwa ketika internet muncul, era gatekeeping yang dilakukan oelh pria, telah berakhir. Namun tidak demikian menurut Kramarae. Di bawah ini ada 4 kiasan untuk menggambarkan hal itu:

Information Superhighway, yaitu masih sulit bagi wanita untuk mengakses pelayanan inernet dengan harga yang relative masih tidak terjangkau bagi wanita, serta situs tidak dirancang secara khusus untuk menyambut wanita.
The New Frontier, yaitu pria berpandangan bahwa komputer dan online tidak cocok bagi wanita.
Democracy, yaitu karena kaum wanita belum menjadi kelompok yang ‘membuat pengetahuan (knowledge), maka wanita justru harus lebih berhati-hati ketika menelusuri dunia maya.
A Global Community, lewat internet, wanita bisa saling berbagi pengalaman dengan orang lain di seluruh dunia. Namun internet menghadirkan komunitas yang telah eksis tanpa mendorong pihak-pihak yang tidak hadir untuk berpartisipasi. Untuk mendapt kepercayaan, para pria membuat site ‘women only’ untuk menipu wanita dan mendapatkan kepercayaan mereka.

Women’s Truth into Men’s Talk: The Problem of Translation
Mengasumsikan bahwa dominansi maskulin dalam komuniksi publik adalah sebuah realitas yang tengah terjadi, Kramarae menyatakan, untuk berpartisipasi dalam masyarakat, wanita harus mentranslasikan model mereka ke dalam sistem ekspresi pria yang dipakai masyarakat selama ini. Seperti bicara dengan bahasa kedua, translasi ini butuh proses yang terus-menerus. Apa yang ingin dikatakan wanita tidak dapat diungkapkan secra benar-benar tepat karena bahasa yang ada bukanlah buatan mereka. Dan, layaknya seperti bahasa kedua, ketika translasi selesai dilakukan, kata-kata yang telah ditranslasikan itu tidak benar-benar mengungkapkan maksud wanita.

Speaking Out in Private: Networking with Women
Menurut Kramarae, wanita cenderung mencari cara yang berbeda dalam mengekspresikan pengalamannya kepada public. Wanita menggunakan diary, jurnal, surat, cerita, dongeng, gossip, seni, puisi, nyanyian, maupun parodi nonverbal. Pria biasanya lupa akan sekitarnya jika telah berkomuniksi dengan wanita lewat channels tersebut. Karamarae yakin bahwa pria memiliki kemampuan yang lebih rendah dari wanita dalam mengerti maksud dari lawan jenis. Namun pria tetap melakukan itu karena mereka sadar bahwa mendengarkan wanita itu perlu untuk membangun kehormatan yang lebih besar lagi untuk dirinya.

Speaking Out in Public: A Feminist Dictionary
Tujuan utama dari muted theory adalah untuk mengubah man-made linguistic system yang membuat wanita tidak bisa maju dan berkembang. Menurut Kramarae, salah satunya dibakukan oleh kamus-kamus yang beredar. Kemudian ia dan Paula Treichler membuat kompilasi kamus feminis yang menawarkan definisi untuk kata-kata wanita.

Sexual Harassment: Coining A Term to Label Experience
Pelecehan seksual (sexual harassment) tidaklah terjadi secara acak menurut Kramarae. Wanita telah menjadi objek tetap pelecehan seksual. Ini terjadi karena wanita tidak memiliki kekuasaan (power) yang besar dalam masyarakat sehingga ia senantiasa dilecehakn dan direndahkan. Masih menurut Kramarae, istilah sexual harassment sendiri digunakan pertama kali pada sebuah kasus di pengadialn pada akhir tahun 1970. itu adalah kata legal petama yang didefinisikan oleh wanita. Dan bagi muted group, perjuangan untuk mengimbangi man-made language, terus berlangsung.

Kritik: Is A Good Man Hard to Find (And Change)?
Mengapa budaya patriarki dianut oleh kita? Mengapa pria begitu ingin mendominasi msyarakat? Pertanyaan tentang motif pria ini adalah sesuatu yang problematis. Menurut Kramarae, pria berusaha mengontrol wanita. Namun anggapan ini dibantah oleh Tannen. Tannen setuju bahwa perbedaan gaya komunikasi antara pria dan wanita menyebabkan ketidakseimbangan kekuasaan. Namun Tannen menolak alasan yang diajukan Kramarae. Menurut Tannen, penyebabnya adalah gaya yang berbeda (different style) antara pria dan wanita. Kramarae membantahnya kembali dengan menyatakan bahwa alasan itu terlalu naïve. Kramarae menyalahkan hirarki politik, pendidikan, agama, legal, ras, system support gender, dan kelas. Respons kita pada muted theory bergantung pada apakah kita mendapat manfaat atau malah menjadi korban atas sistem ini.

2 comments:

  1. terimakasih, tulisannya ngebantu buat tugas saya

    ReplyDelete
  2. saya perlu model teori Muted Group Theory ini ..
    terus apakah teori ini sama dengan the spiral theory?? mohon infonya..
    thks

    ReplyDelete