Saturday, July 3, 2010

The Rhetoric (Aristotle): Sebuah Review

Pada masa Yunani Kuno, Kaum Sophist terkenal dengan ajaran berpidatonya yang mampu menginspirasi banyak pengacara dan politikus dalam berpartisipasi di pengadilan dan dewan pertimbangan. Namun Plato menyatakan sindiran atas ajaran Sophist yang tidak teoretis ini. Yang dimaksud dengan tidak teoretis adalah ajaran oratoris Kaum Sophist yang penuh tipu muslihat. Kita dapat melihat kenyataan itu sekarang dalam term negative ‘mere rhetoric’ yang dipakai untuk menyebut pidato pengacara yang tricky, janji-janji politikus, pidato pastur-pastur yang menyentuh hati, maupun cara bicara cepat para sales.

Aristotle setuju dengan ini. Ia menyesalkan penghasutan rakyat yang dilakukan para orator untuk menggerakkan pendengar dengan mengabaikan kebenaran. Namun, berbeda dengan Plato, ia melihat bahwa rhetoric sebagai alat, adalah cara alami agar para orator dapat meraih kemuliaan dan kemenangan meski dengan sedikit kecurangan.
Menurutnya, kebenaran memiliki superioritas moral yang membuatnya lebih dapat diterima daripada kebohongan. Namun hal-hal yang berlawanan dengan kebenaran dapat membodohi jika speaker yang beretika tidak menggunakan cara-cara persuasi yang ada untuk meng-counter kesalahan di dalamnya. Speaker yang mengabaikan seni retorika hanya akan menempatkan diri mereka di pihak yang salah ketika pendengar menganggap hal yang diucapkan speaker sebagai sebuah kebohongan. Kesuksesan membutuhkan kebijaksanaan dan kepandaian berpidato.

Pelatihan Sophist tentang retorika memang sangat praktis, tetapi tidak disusun secara teliti. Sebaliknya, Aristotle mengangkat rhetoric sebagai ilmu dengan mengeksplorasi secara sistematis efek speaker, the speech, dan the audience. Ia menyebut penggunaan pengetahuan ini oleh speaker sebagai sebuah seni.

Rhetoric: Membuat Persuasi menjadi Mungkin
Aristotle melihat fungsi rhetoric sebagai penemuan dalam setiap kasus tentang cara yang ada dalam persuasi. Menurutnya, ada 3 klasifikasi situasi pidato berdasarkan hakikat khalayak, yaitu:

Courtroom (forensic) speaking, digunakan oleh para juri yang berusaha memutuskan fakta apakah seseorang bersalah atau tidak.
Political (deliberative) speaking, usaha untuk mempengaruhi legislatif atau pemilih yang dapat mempengaruhi kebijakan di masa depan.
Ceremonial (epideictic) speaking, menghimpun pujian atau kesalahan pada pihak lain untuk kebaikan penonton.
Aristotle mengklasifikasikan rhetoric sebagai lawan dari dialectic.

Dialectic Rhetoric
Dikusi timbal balik (Dialectic): Seseorang menyampaikan benyak hal (searah)(Rhetoric)

Pencarian kebenaran: Mendemonstrasikan kebenaran yang telah ditemukan

Menjawab pertanyaan filosofis yang umum: Menyebutkan sesuatu yang spesifik dan praktis

Menguraikan kepastian: Menguraikan kemungkinan. Menurut Aristotle, rhetoric adalah seni menemukan cara untuk membuat suatu kebenaran telihat lebih mungkin atau masuk akal, bagi khalayak yang tidak sepenuhnya yakin akan kebenaran itu.

Rhetorical Proof: Logos, Ethos, Pathos
Menurut Aristotle, cara-cara yang tersedia pada persuasi berdasar pada tiga macam bukti, yaitu:
Logical (logos) : datang dari garis argumen dalam pidato.
Ethical (ethos) : cara karakter speaker terlihat melalui pesan.
Emotional (pathos) : perasaan yang digambarkan speaker yang muncul pada pendengar.

Ketiganya dibawa secara efektif dalam pidato Martin Luther King, Jr.’s, “I Have a Dream”.

Logical Proof: Garis-Garis Penjelasan yang Masuk Akal
Aristotle memfokuskan bahasannya pada dua bentuk logical proof, yaitu enthymeme dan example (contoh). Menurutnya, enthymeme sebagai yang paling kuat dari bukti-bukti. Sebuah enthymeme adalah versi tidak lengkap dari silogisme deduktif formal. Contoh yang terdapat dalam pidato King adalah:

Premis umum: All people are created equal
Premis khusus: I am a person
Kongklusi: I am equal to other people

Sifat dari enthymeme adalah memberikan premis yang telah diterima oleh khalayak. Dalam masalah gaya, enthymeme lebih artistik daripada argumen silogistik yang kaku atau resmi. Aristotle sendiri punya alasan mengapa ia lebih menganjurkan penggunaan pernyataan atau premis yang telah dipercaya oleh khalayak, lewat pernyataan, “Karena premis itu secara bersama-sama diproduksi oleh khalayak, enthymeme secara intuitif, menyatukan speaker dan khalayak dan menyediakan bukti kemungkinan yang paling kuat…. Khalayak sendiri membantu membangunnya ketika bukti itu disampaikan”.

Ethical Proof: Ketika Kredibilitas Sumber dapat Dirasakan dengan Jelas
Menurut Aristotle, pidato dengan argumen yang meyakinkan saja tidak cukup. Seorang speaker haruslah pula terlihat kredibel. Dalam rhetoric, ia mengidentifikasi 3 kualitas yang membangun kredibilitas sumber yang tinggi, yaitu:

Perceived Intelligence (kecerdasan yang dapat dilihat) ─ ada tumpang tindih (overlap) yang terjadi dalam penilaian kecerdasan speaker oleh khalayak. Tumpang tindih itu terjadi antara kepercayaan mereka dengan ide yang disampaikan speaker.
Virtuous Character (karakter yang berbudi luhur) ─karakter berhubungan dengan imej speaker sebagai orang yang baik dan jujur.
Goodwill (keinginan luhur) ─goodwill adalah penilaian positif atas maksud speaker terhadap khalayak. Menurut Aristotle, sangat mungkin seorang orator memiliki kecerdasan yang luar biasa dan karakter yang luhur, tetapi hal itu tetap tidak mampu menjangkau ketertarikan terbesar dalam hati khalayak. Karenanya, perlu ada sebuah goodwill bagi khalayak sehingga mampu menyentuh hati dan menggerakkan mereka.

Emotional Proof: Menyerang Perasaan yang Responsif
Aristole mengerti bahwa public rhetoric, apabila dipraktikkan secara etis, dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, ia menyusun teori lanjutan dari pathos. Ia menawarkan ini tidak untuk mengambil manfaat dari emosi khalayak yang destruktif, tetapi sebagai ukuran korektif yang bisa menolong tuntutan emosional keahlian speaker yang menginspirasi decision making untuk umum yang beralasan. Untuk itu, ia membuat daftar seperangkat perasaan yang berlawanan, menjelaskan dalam kondisi seperti apa perasaan-perasaan itu dialami seseorang, kemudian menggambarkan bagaimana speaker dapat membuat khalayak merasa seperti itu.

Anger (versus mildness)─kemarahan vs kelembutan
Diskusi Aristotle mengenai anger, adalah versi awal dari hipotesis frustration-aggression dari Freud. Orang akan marah jika mereka dihalangi dalam usaha memenuhi kebutuhan mereka. Mereka akanmarah jika didingatkan akan kelalaian interpersonal. Jika si penghalang menyesal, pantas menerima pujian, atau memiliki kekuasaan, maka khalayak akan tenang.

Love or friendship (versus hatred)─cinta atau persahabatan vs rasa benci
Seiring dengan penelitian masa kini tentang ketertarikan, Aristotle menganggap persamaan (similarity) sebagai kunci kehangatan satu sama lain. Speaker haruslah menunjukkan tujuan, pengalaman, perilaku, dan semangat mereka. Ketika tidak ada persamaan antara speaker dengan khalayak, musuh bersama dapat digunakan untuk menciptakan solidaritas.

Fear (versus confidence)─ketakutan vs kepercayaan
Rasa takut muncul dari imej mental tentang malapetaka yang potensial. Seorang speaker haruis mampu menggambarkan gambaran kata-kata yang nyata tentang tragedi itu, untuk menunjukkan bahwa hal itu mungkin terjadi. Kepercayaan dapat dibangun dengan mendeskripsikan bahaya adalah hal yang jauh dan memiliki kemungkinan kecil untuk terjadi.

Shame (versus shamelessness)─rasa malu vs tanpa rasa malu
Kita merasa malu atau bersalah ketika kekalahan berasal dari kelemahan dan sifat buruk kita. Emosi kita akan besar ketika speaker mengatakan kegagalan dan keburukan kita di hadapan keluarga, teman, atau orang-orang yang kita kagumi.

Indignation (versus pity)─kejengkelan vs berbelas kasih
Kita semua punya rasa keadilan. Mudah menggerakkan rasa ketidakadilan dengan menggambarkan kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan atas orang-orang yang tidak berdaya.

Admiration (versus envy)─kekaguman vs kecemburuan
Orang menyukai sifat yang baik, kekuasaan, kesejahteraan, dan keindahan. Dengan menunjukkan bahwa seseorang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kerja keras, bukannya keberuntungan, kekaguman akan meningkat.

The Five Canons of Rhetoric
Para ahli dan praktisi rhetoric mensintesis kata-kata Aristotle ke dalam 4 standar untuk mengukur kualitas seorang speaker, yaitu:

Invention→untuk menghasilkan enthymeme dan contoh yang efektif, speaker harus memiliki pengetahuan yang detil dan lengkap tentang hal yang ia sampaikan serta mampu menyampaikan pidatonya dengan alasan dan alur berpikir yang masuk akal. Di dalam pikiran kita, ada kotak penyimpanan yang berisi kebijaksanaan atau berbagai informasi yang pernah kita dapatkan. Aristotle menyebut simpanan argumen ini sebagai topoi (topik atau tempat). Speaker harus mampu menggunakan simpanan ini dalam berpidato.

Arrangement→menurut Aristotle, speaker harus menghindari rencana yang rumit dalam organisasi pesan yang hendak ia sampaikan pada khalayak. Tugas seorang speaker adalah mempertahankan pokok bahasan dan mendemonstrasikannnya. Pembukaan harus mampu menarik perhatian khalayak, membangun kredibilitas speaker, dan menjelaskan tujuan pidato. Sedangkan simpulan harus mengingatkan khalayak pada apa yang telah diucapkan speaker dan membuat kesan baik tentang dirinya dan ide yang dibawanya.

Style→Aristotle yakin bahwa kiasan memiliki kebaikan, rasa manis, dan kekuatan. Karenanya, kata-kata kiasan mampu meninggalkan kesan yang dalam bagi khalayak.

Memory→agar pidato yang disampaikan menjadi lebih hidup, alami, dan mampu bersatu dengan khalayak, seorang speaker harus bisa berpidato tanpa teks dan mengeksplorasi segala informasi yang ia simpan di dalam kepalanya yang berhubungan dengan pokok bahasan.

Delivery→khalayak tidak menyukai cara penyampaian yang monoton dan tampak direncanakan. Mereka lebih menyukai kealamian dalam cara penyampaian. Kealamian ini persuasif.http://www.blogger.com/img/blank.gif

Kritik
Ada beberapa kritik bagi teori Aristotle ini. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
 Para ahli bingung akan kegagalan Aristotle dalam mendefinisikan makna pasti enthymeme.
 Sistemnya yang membingungkan dalam mengklasifikasikan jenis-jenis kiasan (metaphor).
 Perbedaan yang kabur antara deliberative (political) dan epideictic (ceremonial speaking.
 Pada awal teori tentang Rhetoric, Aristotle berjanji untuk menjelaskan secara sistematis tentang logos, ethos, dan pathos. Pada kenyataannya, ia mengelompokkan bahasannya dalam urutan speech-audience-speaker.
 Beberapa kritikus masa kini mengkritik pandangan Rhetoric yang melihat khalyak (audience) sebagai pihak yang pasif.
 Beberapa ahli lain menganjurkan komponen keempat dalam rhetoric, yaitu the situation.

No comments:

Post a Comment