Friday, July 2, 2010

Symbolic Interactionism (George Herbert Mead): Sebuah Review

Dirangkum dari E.M Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

George Herbert Mead adalah seorang sosiolog yang mengemukakan konsep symbolic interactionist, yaitu konsep yang menjelaskan mengenai pengaruh lingkungan terhadap bahasa. Yang dibahas dalam term symbolic interactionism adalah aktivitas kemanusiaan yang paling manusiawi, bahwa manusia bisa berhubungan dan berbicara satu sama lain. Menurut Blumer─murid Mead, tiga prisip utama dalam symbolic interactionism adalah meaning (makna), language (bahasa), dan thought (pemikiran). Dasar pemikiran ini menuntun pada kongklusi tentang pembentukan self seseorang dan sosialisasi ke dalam community yang lebih luas.

Meaning: Konstruksi Realitas Sosial
Blumer memulai dengan premis bahwa manusia memperlakukan seseorang atau sesuatu berdasarkan makna yang mereka tempatkan pada seseorang atau sesuatu itu. Menurut Mead, ketika seseorang mendefinisikan sesuatu sebagai hal yang nyata, maka konsekuensinya nyata. Maksudnya, apabila seseorang mendefinisikan sesuatu nyata, konsekuensi yang terjadi pada sesuatu itu adalah nyata, meskipun kenyataannya sesuatu itu tidak benar-benar terjadi.

Misalnya, pada suatu malam pukul 23.00 seorang gadis berjalan sendirian di halte bus. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang tidak dikenal, menghampiri gadis itu. Laki-laki itu dengan sopan bertanya, jam berapa saat itu. Apakah si gadis akan menanggapi dengan baik atau gadis itu akan menjauh dari laki-laki itu? Gadis itu akan cenderung menjauh dari situ tanpa berkata sepatah katapun. Terlepas dari apakah laki-laki itu tidak punya niat jahat, apabila gadis itu mendefinisikan situasi itu sebagai suatu ancaman berbahaya, konsekuensinya, gadis itu menjauh dan tidak menjawab pertanyaan lelaki tadi. Konsekuensi itu membentuk suatu realitas sosial, yang tidak selamanya sesuai dengan fakta yang sebenarnya.

Language: Sumber Makna
Premis kedua Blumer adalah bahwa makna muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Artinya, makna tidaklah berasal dari objeknya, atau secara alamiah terjadi. Namun makna adalah hasil negoisasi melalui penggunaan bahasa dengan orang lain. Karena itulah, ini disebut symbolic interactionism.

Kata-kata adalah simbol yang tidak memiliki koneksi alamiah dengan benda atau hal yang diwakilinya. Hanya lewat berbicara dengan orang lainlah─symbolic interaction, kita menciptakan makna dan membangun percakapan di dunia dari simbol-simbol tadi. Ahli interaksionis mengklaim bahwa perluasan pengetahuan, bergantung pada perluasan makna.

Symbolic interaction bukan hanya berarti ungkapan kecerdasan, tetapi ini juga cara kita belajar bagaimana menginterpretasikan dunia. Misalnya mendengar kata ‘seorang dokter’, pikiran kita akan langsung membayangkan bahwa dokter itu adalah seorang pria. Ini wajar, karena─di lingkungan sosial kita, kita diajari dan belajar untuk ‘membiasakan diri’ untuk menganggap bahwa kebanyakan dokter itu pria.

Thought: Proses Mengambil Peran Orang Lain
Premis ketiga Blumer adalah bahwa interpretasi individu atas simbol, dibatasi oleh proses berpikirnya. Symbolic interactionism mendeskripsikan proses berpikir sebagai ‘inner conversation’ atau inner dialogue minding. Dalam menginterpretasikan sesuatu, manusia berbicara pada dirinya sendiri dengan bahasa. Tentu saja sebelum proses berpikir ini, manusia harus berinteraksi secara simbologis.

Menurut Mead, setiap manusia memiliki kemampuan untuk berperan sebagai orang lain. Mead yakin bahwa pikiran adalah pembicaraan mental dari pembicaraan yang kita lakukan dengan orang lain. Karena itu, manusia bisa berperan sebagai orang lain. Maksudnya adalah kita berbicara, bersikap, dan melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Kita mencoba memakai sepatu orang lain. Meskipun sepatu itu terlalu besar atau kecil, kita tetap melangkah dengan sepatu itu.

The Self (Diri): Refleksi di Looking-Glass
Ketika kita memahami bahwa makna, bahasa, dan pemikiran berhubungan erat satu sama lain, kita akan dapat pula memahami konsep Mead tentang diri (self). Mead tidak beranggapan bahwa kita mengetahui diri kita melalui introspeksi. Namun menurutnya, kita memperoleh gambaran tentang diri kita, dengan membayangkan bagaimana orang lain melihat kita. Ini disebut looking-glass self yang terbangun karena interaksi sosial. The self inilah hasil dari yang disebut sebagai fungsi bahasa. Tanpa berbicara, tidak akan ada self-concept. Karenanya, seseorang harus berinteraksi dengan orang lain terlebih dahulu sebelum konsep diri terbentuk. Melalui interaksi, konsep diri akan terus-menerus berubah.

Menurut Mead, the self adalah proses mengkombinasikan the “I” dan the “me”. The “I” adalah sebuah dorongan spontan dalam diri seseorang yang memelihara segala sesuatu yang baru, tak bisa diprediksi, dan tidak teratur di dalam diri (the self). Sedangkan the “me” adalah ‘objek’ diri yang hadir di the looking glass karena reaksi orang lain terhadap kita. Misalnya dosen kita berkata bahwa tugas makalah kita sangat buruk dan ia berkata bahwa kita tidak mampu mengikuti mata kuliah dengan baik. Maka kita akan berpikir bahwa kita bodoh dan tidak mampu melalui mata kuliah itu dengan baik.

Community: Efek Pengaturan Sosial oleh Harapan Orang Lain
Generalized other adalah suatu set informasi yang terorganisasi yang ada dalam pikiran seseorang mengenai apa general expectation dan bagaimana perilaku sebuah kelompok sosial. Kita mengacu pada generalized other untuk mengevaluasi segala perilaku kita dalam suatu situasi sosial.

Mead melihat bahwa komunitas terdiri atas individu-individu yang membuat pilihan mereka sendiri. Namun dalam bukunya, ‘Mind, Self, and Society”, tidak jelas apakah ia mendefinisikan generalized other sebagai proses looking-glass self yang kita bangun atas reaksi orang lain, ataukah ini sebuah general expectation yang mempengaruhi setiap percakapan yang terjadi dalam pikiran manusia. Yang jelas, generalized other membentuk bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam suatu komunitas.

Ketika kita lahir, the ”me” tidak ada. The “me” terbentuk ketika kita mulai berinteraksi dengan orang lain. Dalam interaksi ini, kita memahami apa harapan masyarakat untuk dilakukan. Generalized other mempengaruhi bagaimana bentuk the “me”.

Sampler dari Konsep ‘Symbolic Interaction Teraplikasi’

Ada 6 aplikasi symbolic interactionism, yaitu
Creating Reality
Erving Goffman menjelaskan metafora interaksi sosial sebagai suatu penampilan drama. Ini disebut konsep dramaturgi. Menurutnya, kita semua terlibat dalam negoisasi konstan dengan orang lain untuk menunjukkan identitas kita dan mendefinisikan situasi. Misalnya seseorang berkata terima kasih pada kita dengan wajah suram. Kita cenderung akan mendefinisikan bahwa ada sesuatu yang salah atau kita akan berpikir bahwa orang ini tidak dengan tulus mengucapkan terima kasih.

Meaning-ful Research
Mead mengadakan penelitian melalui participant observation yaitu bentuk etnografi. Menurutnya, kita akan mengerti suatu budaya jika kita tinggal bersama masyarakat penganut budaya itu dan ikut melakuakannya. Bukan sekadar mempelajari kehidupan suatu masyarakat lewat buku atau teks.

Generalized Other
Ketika misalnya seorang anak dianggap tidak ada oleh keluarga, guru, dan teman-temannya, ia, lama-kelamaan akan berpikir bahwa ia memang tidak pernah ada. Ini akan membuatnya melemah dan meninggal tanpa ada alasan eksplisit. Para ahli interaksionis akan berkata behwa kematian anak itu adalah sebuah symbolic manslaughter (pembunuhan terencana secara simbolik).
Hal ini terjadi karena generalized other di sekitar anak ini, membentuk the “me” si anak. Ketika orang-orang di sekitar anak ini menganggap anak ini tidak ada, anak ini melihat dirinya lewat cerminan perilaku dan ekspektasi orang lain terhadapnya. Karena orang di sekitarnya menganggapnya tidak eksis, si anak berpikir bahwa dirinya benar-benar tidak pernah ada.

Naming
Yang membuat naming berpengaruh pada seseorang adalah makna yang terkandung di dalamnya.

Self-Fulfilling Prophecy
Salah satu implikasi dari konsep looking-glass self adalah bahwa kita mengerti bagaimana pandangan dan perasaan orang lain terhadap kita. Apabila kita telah mengerti, maka akan ada suatu dorongan kuat dalam diri kita untuk memberikan respons atas pandangan orang lain itu. Bentuknya terkadang adalah sebuah janji pada diri sendiri untuk melakukan hal yang diharapkan orang lain. Ketika kita berkata pada diri kita, ‘aku bisa’, dan ternyata kita benar-benar bisa, inilah yang disebut self-fulfilling prophecy.

Symbol Manipulation
Adanya makna dalam simbol, membuat kita mampu memanipulasi simbol itu untuk menunjukkan siapa kita atau membuat orang ‘berpikir’ tentang siapa kita. Misalnya untuk membangun kekuatan politik dalam masyarakat miskin, digunakan simbol ‘Rats as big as cats’. Kalimat ini bisa menggerakkan banyak orang miskin untuk menuntut hak mereka dan melepaskan diri dari ketidakadilan.

2 comments:

  1. Halo Adhyana, review ini berguna sekali. Sangat bermanfaat. Kebetulan saya sedang mengabil S3 bidang arsitektur yang akan mencoba pendekatan ini. Boleh saya rujuk? Boleh kita jadi teman berdiskusi? Bidangnya jauh..tapi ada besar kemungkinan saya akan banyak terlibat di bidang2 yang 'manusiawi' dari arsitektur.

    ReplyDelete
  2. Halo Adhyana, review ini berguna sekali. Sangat bermanfaat. Kebetulan saya sedang mengabil S3 bidang arsitektur yang akan mencoba pendekatan ini. Boleh saya rujuk? Boleh kita jadi teman berdiskusi? Bidangnya jauh..tapi ada besar kemungkinan saya akan banyak terlibat di bidang2 yang 'manusiawi' dari arsitektur.

    ReplyDelete