Saturday, July 3, 2010

Cultural Approach to Organizations (Clifford Geertz dan Michael Pacanowsky): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Geertz menulis bahwa manusia adalah hewan yang tergantung pada jaring-jaring arti yang telah dipintalnya sendiri. Jaring-jaring itu adalah budaya. Untuk menjelajahi jaring itu hingga ke pusatnya, orang luar harus mengetahui interpretasi lazim yang menyatukan jaring-jaring itu. Budaya adalah makna, pengertian, dan perasaan yang dibagi bersama (shared). Pacanowsky menambahkan, bahwa jika budaya terdiri atas jaringan-jaringan makna yang dipintal orang, dan jika pemintalan jaringan itu meliputi aktivitas memintal, maka kita tidak hanya harus memperhatikan struktur jaring-jaring budaya, tetapi kita juga harus memperhatikan proses pemintalan jaring-jaring itu. Proses itu adalah komunikasi. Komunikasi menciptakan realitas taken-for-granted di dunia kita.

Budaya sebagai Sebuah Metafora Kehidupan Organisasi

Penggunaan budaya sebagai akar metafora muncul karena fenomena kesuksesan perusahaan Jepang di tahun 70-an dan 80-an. Para pemimpin bisnis di Amerika, ketika mempelajari metode produksi di Jepang, menemukan bahwa kuantitas dan kualitas output perusahaan industri Jepang bukan disebabkan oleh teknologi melainkan dikarenakan nilai budaya yang dibagi bersama di antara para pekerjanya tentang kesetiaan pada rekan kerja dan perusahaan mereka. Setiap organisasi berbeda. Ini bergantung pada bagaimana orang-orang dalam budaya kelompok menyusun makna. Pacanowsky mengaggap budaya lebih dari sekadar sebuah variabel tunggal dalam penelitian organisasional. Menurutnya, budaya organisasi bukan sekadar sebuah potongan puzzle melainkan puzzle itu sendiri. Dalam pandangan kita, budaya bukan sesuatu yang dimiliki organisasi; budaya adalah organisasi itu.

Apa yang Budaya; Apa yang Bukan Budaya
Geertz mengakui bahwa konsep budaya sebagai ‘system of shared meaning’, tidak jelas dan sulit ditangkap. Biasanya budaya disamakan dengan konser musik dan museum kesenian untuk menandakan kelompok yang less primitive atau beradab. Geertz menolaknya. Tak ada seorangpun dari antropolog modern yang terjebak dalam pengklasifikasian manusia sebagai high- atau low- culture.

Budaya tidak sama untuk semua kelompok atau tidak terbagi. Menurut Geertz, budaya terbagai dalam subbudaya dan counterculture. Kebiasaan suatu kelompok seringkali hal yang asing bagi kelompok yang lain.

Menurut Pacanowsky, jaringan budaya organisasi merupakan sisa dari perbuatan para karyawan di dalamnya, yaitu tindakan-tindakan ketika para anggota mengangkat dan mengungkapkan budaya mereka pada diri mereka sendiri dan orang lain. Dia menyatakan bahwa prestasi kerja hanya memiliki sedikit peran dalam pembuatan budaya perusahaan. Bahwa dalam suatu perusahaan, orang tidak hanya bekerja tetapi mereka juga bergosip, bercanda, bersaing, terlibat dalam suasana romantis, berbincang-bincang tentang olahraga, menyusun acara piknik, dsb. Semua itu lantas membentuk budaya dalam suatu perusahaan.

Sifat budaya yang sulit dipahami inilah yang memaksa Geertz untuk menyebut pemahaman tentang budaya sebagai soft science. Bahwa pemahaman ini bukan sebuah sains yang eksperimental untuk mencari hukum universal, tetapi sebuah pemahaman interpretatif untuk mencari makna.

Thick Description―Apa yang Dilakukan Ethnografer

Jika tugas seorang ahli geografi adalah memetakan wilayah fisik, tugas seoran gethnografer adalah memetakan wacana ilmiah sosial. Ethnografer berusaha mengungkap orang menganggap diri mereka itu siapa, mereka pikir apa yang mereka lakukan, dan apa yang mereka pikirkan tentang tujuan mereka melakukan itu. Tak ada jalan pintas untuk mengumpulkan laporan penyelidikan yang mendalam tentang interaksi. Tanpa pemahaman yang jelas itu, tak akan ada yang bisa diinterpretasikan.

Geertrz dan Pacanowsky menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun utnuk menyelidiki budaya suatu masyarakat. Seorang ethnografer mengadakan observasi dengan menjadi anggota dari suatu masyarakat. Namun ia harus sadar akan posisinya sebagai peneliti sehingga ia mampu menempatkan budaya masyarakat yang tengah ditelitinya sebagai sumber pengetahuan yang dianut masyarakat itu. Dan mengapa masyarakat tersebut menganut budaya itu.

Thick description membutuhkan interpretasi dan observasi. Thick description melacak jaringan budaya dan menguak makna. Berawal dari kebingungan bercampur kekaguman, ethnografer berada pada posisi sebagai orang asing yang masuk dalam suatu masyarakat dengan budaya yang tak dikenalnya. Dari situ, ia akan berusaha menginterpretasikan budaya baru itu sesuai dengan pandangan yang dianut masyarakatnya.

Metafora: Menggunakan Bahasa dengan Serius

Ketika digunakan oleh para anggota organisasi di seluruh seginya (tidak hanya management), metafora menawarkan ethnografer sebuah tempat awal untuk mulai mengenal shared meaning sebuah budaya perusahaan.

Contohnya, di Senat Mahasiswa FISIP UI, para anggotanya dapat saling berkomunikasi tanpa jarak dan tanpa mempedulikan jabatan siapa yang paling tinggi. Mereka selalu berbagi semangat dengan meneriakkan ‘Hidup Mahasiswa!’ untuk menunjukkan idealisme mereka. Meskipun suasana egalitarian sangat kental di organisasi ini, setiap orang mengerjakan tugas mereka dan bertanggung jawab kepada kepala divisi mereka masing-masing dan berkonsultasi tentang tindakan mereka yang berisiko buruk bagi organisasi mereka.

Setiap anggota menjalankan kegiatan mereka dengan semangat idealisme mahasiswa yang berani berjuang demi keadilan. Dari situ mereka membangun organisasi mereka dan metafora ‘Hidup Mahasiswa!’ menjiwai organisasi itu.

Interpretasi Simbolis Cerita
Cerita-cerita yang diulang terus-menerus meyediakan jendela yang nyaman untuk melihat jaringan-jaringan korporasi arti. Kualitas naratif ini mempengaruhi bagaimana dan seperti apa para karyawan bekerja. Cerita-cerita itu menangkap prestasi-prestasi penting dan menunjukkan jalan untuk merasakan semangat pelakunya saat itu.

Pacanowsky mengusulkan tiga tipe narasi yang mendramatisasi kehidupan organisasi, yaitu:
1. corporate stories yang membawa ideologi management dan memperkuat kebijakan perusahaan,

2. personal stories, yaitu cerita yang disampaikan oleh para personel perusahaan tentang diri mereka, biasanya mendefinisikan bagaimana mereka ingin terlihat atau dinilai di dalam organisasi,

3. collegial stories
, yaitu anekdot positif atau negatif yang disampaikan tentang orang lain dalam organisasi.

Ritual: This is The Way It’s Always Been, and Always Will Be
Menurut Pacanowsky, beberapa ritual merupakan texts yang mengartikulasikan aspek-aspek multiple kehidupan budaya. Ritual ini biasanya dikeramatkan dan usaha apapun untuk mengubahnya, akan menghadapi tantangan yang kuat. Menurut Geertz, ritual adalah kisah yang diceritakan masyarakat tentang diri mereka sendiri. Karenanya, kita harus mendengarkan interpretasi mereka sendiri.

Bisakah Manager menjadi Agen Perubahan Budaya?
Popularitas metafora budaya, tanpa diragukan, disebabkan keinginan kuat para pemimpin bisnis utnuk membentuk interperetasi dalam organisasi. Simbol adalah alat management. Para eksekutif ini menciptakan visi, merancang tujuan, memproses informsi, mengirim memo, dan mengajak orang lain dengan perilaku simbolik lain. Jika mereka percaya bahwa budaya adlah kunci bagi komitmen karyawan, produktivitas, dan penjualan, kemungkinan untuk mengubah budaya sangat kecil. Menciptakan metafora yang disukai, menanamkan cerita-cerita organisasi, dan membangun kebiasaan, mungkin adalah cara yang ideal untuk menciptakan mitos perusahaan yang melayani minat managerial.

Namun bisakah budaya diciptakan? Menurut Geertz, shared interpretation muncul secara alami dari seluruh anggota kelompok, bukannya dirancang secara sengaja oleh pemimpin. Pemimpin boleh mengartikulasikan visi baru dalam kosakata baru, tetapi karyawanlah yang tersenyum, mengeluh, tertawa, atau mengejek. Shared meanings sulit dihilangkan. Meskipun jika budaya bisa diubah, ini akan menyisakan pertanyaan apakah benar, ini harus berubah?

No comments:

Post a Comment