Saturday, July 3, 2010

Cultural Studies (Stuart Hall): Sebuah Review

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Hall adalah ahli komunikasi yang mengkaji fenomena komunikasi berdasarkan pendekatan critical. Hal utama yang dinyatakannya adalah keraguannya atas kemamapuan para ahli komunikasi untuk menjawab fenomena pengaruh media. Ia menolak bahasan dalam penelitian yang menginterpretasikan segala bentuk symbol, bahasa, makna, dan arti, secara dangkal dan sederhana. Terpengaruh oleh teori Marx, Hall bertujuan untuk memberi kekuatan bagi orang-orang yang dimarginalisasikan, dan tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan kepentingan mereka.

Media sebagai Ideological Tools yang Kuat
Hall percaya fungsi media massa adalah untuk mempertahankan dominasi yang telah ada dan memiliki kekuatan. Ia curiga dan menentang karya empiris yang tidak mampu menganalisis ide-ide atau pemikiran apa saja yang terkandung di dalam media. Para peneliti noncritical menghadirkan karya mereka sebagai sains murni dan tidak mengandung suatu anggapan tertentu. Padahal setiap teori media, pada hakikatnya, mengandung isi dan maksud ideologis.

Hall melihat dalam mainstream penelitian komunikasi massa di Amerika Serikat bahwa media menyajikan sebuah myth of democratic pluralism. Yaitu kepura-puraan bahwa masyarakat bersatu dalam common norms, kesempatan yang setara, penghormatan terhadap perbedaan, kesamaan hak bersuara, hak-hak individual, dan penegakan hukum. Hall menyatakan bahwa segala repetisi yang bersih yang disebut informasi, tidak mungkin melenyapkan karakter kotor, semiotic, semantic, dan discursive yang sifatnya fundamental media tersebut dalam dimensi budayanya.

Hall memakai istilah articulate untuk menyatakan speaking out tentang penindasan dan linking─menghubungkan bahwa penaklukan yang dilakukan oleh media komunikasi dapat terjadi karena media bergerak di bidang di mana makna dibentuk.

Awal Cultural Critics
Cultural studies adalah suatu pergerakan yang kompleks. Untuk memahami teori Hall, kita harus mengerti akarnya terlebih dahulu. Pada akhir Perang Dunia II, karena revolusi atau pemberontakan yang dilakukan kaum Proletar, Marx memprediksi bahwa akan terbentuk suatu masyarakat tanpa kelas dan dominansi ekonomi kaum kapitalis akan berkurang. Nyatanya, kedua prediksi tersebut tidak pernah benar-benar terjadi. Mengapa?

Para teorist dari Frankfurt School berargumentasi bahwa kalangan kelas pekerja tidak memberotak karena para korporasi media secara efektif menyesuaikan pesan yang mereka sampaikan pada khalayak dengan hal yang mendukung sistem kapitalis. Berita maupun hiburan yang ditampilkan media, menghadirkan gambaran dunia di mana kapitalisme adalah suratu hal yang alami, abadi, dan tak bisa diubah. Ini adalah suatu proses produksi culture (budaya) yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki pengaruh di bidang ideologi dan politik─culture industries. Hall menyebut peran cultural media sebagai suatu hegemony. Meski media memiliki beragam ide, tetapi media cenderung mempertahankan status quo. Hasilnya, peran media massa adalah production of consent bukan a reflection of consensus.

Roland Barthes menawarkan analisis semiotic untuk menjelaskan apa yang ditampilkan media itu. Namun semiotic tidak memberikan cukup penjelasan mengapa suatu makna dihubungkan dengan simbol-simbol tertentu dalam kurun waktu historis tertentu.
Michel Foucault berpendapat bahwa Marxists dan semiologists tidak memperhatikan hubungan antara kekuatan societal dengan komunikasi. Ia yakin bahwa adalah salah memisahkan signs dan symbols dengan pesan media massa. Orang membutuhkan suatu framework of interpretation untuk membuat sesuatu masuk akal. Framework itu terbentuk dari wacana dominan yang berlaku saat itu.

Membuat Makna
Dalam bukunya Representation, Hall menyatakan bahwa fungsi utama dari wacana (discourse) adalah untuk membuat makna. Kebanyakan mahasiswa komunikasi setuju bahwa kata-kata tidak memiliki makna intrinsik, “Words don’t mean; people mean”. Namun Hall kembali bertanya, “Where do people get their meanings?” ia menjawab bahwa orang belajar tentang makna signs melalui komunikasi dan budaya. Sepanjang sejarah, tidak semua orang memiliki suara yang setara dengan orang lain. Kenyataannya, ada pihak-pihak yang memiliki kekuatan yang lebih besar daripada orang lain sehingga memiliki pengaruh yang lebih besar pula pada orang lain. Pihak-pihak yang memiliki power, secara “sewenang-wenang”, menetapkan suatu garis pemisah antara yang normal dan yang abnormal. Dan pembedaan ini telah menjadi sebuah discursive formation (bentuk yang saling berhubungan atau terus-menerus) serta berdampak pada kelompok yang dianggap berada di bawah pengaruh ini.

Kontrol Korporat terhadap Komunikasi Massa
Hall berusaha mengalihkan studi komunikasi dari segala daerah pembagian dalam organisasi isi: pembangunan hubungan, pengaruh, efek media, gender dan komunikasi, dsb. Ia percaya bahwa kita harus mempelajari the unifying atmosphere di mana semua organisasi isi tadi terjadi dan dari mana semua itu berasal─yaitu budaya manusia. Ia juga menyatakan bahwa perlu mempelajari hubungan kekuatan dengan struktur sosial. Bagi Hall, melepaskan studi komunikasi dari konteks budaya di mana suatu fenomena berada dan mengabaikan realitas ketidaksetaraan ditribusi kekuatan dalam masyarakat, telah melemahkan bidang studi ini dan membuatnya semakin tidak relevan secara teoretis. Menurutnya, kaum superior membuat perbedaan dalam masyarakat dengan mengontrol sumber-sumber informasi yang berpengaruh agar begitu banyak cerita tentang kebenaran, tidak pernah bisa diungkapkan. Meskipun cerita-cerita itu diungkapkan, cara pengungkapan itu akan dibuat sedemikian rupa hingga tidak bertentangan dengan korporasi multinasional yang dominan. Isu utama dalam cultural studies bukan informasi apa-what yang dihadirkan, tetapi informasi siapa-whose itu.

Peran Media saat Perang Teluk
Apa yang diberitakan media massa selama Perang Teluk, menurut Hall, adalah proses pembentukan wacana di mana pesan yang disampaikan disandikan (encoded) melalui media, kemudian diuraikan (decoded), diterima (internalized), dan dilakukan (acted) oleh khalayak. Sementara ide-ide atau wacana lainnya tidak pernah ditampilkan. Hall menyebut proses ini, hegemonic encoding.

Segala yang diberitakan media adalah mengenai kehebatan senjata Amerika. Yang dilakukan media membentuk (frame) dalam masyarakat tentang making the war. Masyarakat lantas lupa pada morality tentang mencegah perang dan mempertahankan kedamaian karena media membentuk pola pikir masyarakat seolah tidak ada alternatif solusi selain perang. Hall menyebut proses media ini sebagai ideological discourses of constraint (wacana-wacana ideologis pembatas). Efek praktisnya adalah membatasi range alternatif dan membuat pilihan lain itu adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan.

Khalayak yang Keras Kepala
Hall menyebut kemungkinan the powerless dapat melawan dengan kebal terhadap ideologi dominan dan menerjemahkan pesan melaui cara yang lebih sesuai dengan kepentingan mereka. Ia menawarkan 3 pilihan decoding, yaitu:
1. Operating inside the dominant code. Media memproduksi pesan, khalayak mengkonsumsinya. Khalayak hendaknya membaca pesan serupa dengan bacaan yang lebih disukai (preferred reading).
2. Applying a negotiable code. Khalayak menerima ideologi inti secara umum, tetapi menentangnya pada aplikasi di kasus-kasus spesifik.
3. Substituting an oppositional code. Khalayak melihat melalui bias pembangunan dalam presentasi media dan menyusun usaha yang terorganisasi untuk mendemitologikan (tidak lagi mendewakan atau menyanjung) berita.

Kritik: Bagaimana Kita Tahu Bahwa Seseorang Benar?
Ada beberapa kritik yang ditujukan oleh para ahli komunikasi pada teori Hall, yaitu:
 Seringkali terjadi perbedaan pandangan antara satu ahli dengan ahli lain, pihak yang satu dengan pihak yang lain mengenai suatu kebenaran. Jika kedua pendangan dari masing-masing pihak dipublikasikan di media, bagaimana kita tahu mana yang benar dan mana yang salah? Sementara kedua argumentasi itu berdasarkan riset atau alasan yang logis.
 Apakah analisis budaya Hall ini mampu menganalisis studi kultural atau teori-teori kritikal lain? Tanpa standar kebenaran, rasanya tidak mungkin bisa mengevaluasi kualitas media criticism. Akibatnya, analisis kulturalnya hanya sebuah tindakan kesetiaan atas preferensi pribadi.
Namun lepas dari itu, kontibusi terbesar Hall pada studi komunikasi massa adalah teorinya mengingatkan bahwa akan sia-sia jika kita berbicara tentang meaning (makna), tanpa peduli pada keberadaan power.

No comments:

Post a Comment